Friday, October 14, 2011

Widyatama Lecture Week-1 Mobile Networking Part-1

[slideshare id=3242539&doc=widyatama-lecture-applied-networking-iv-week01-mobilenetworking-100222021655-phpapp01]

Penjualan Kewirausahaan Informatika Widyatama Roti Unyu

Dalam Proses Pembelajaran untuk menjadi seorang wirausaha, seorang mahasiswa di tuntut lebih untuk menjadi lebih baik dalam menghadapi seorang konsumen dan tantangan dalam dunia bisnis juga.
Dalam laporan ini kami dalam satu kelompok yang terdiri dari Daniel Silaban, Mochamad Yagi, Deny David, Vika Sylviana dan Rizky, kami mencoba melakukan suatu perubahan dalam kegiatan kami sehari -- hari, yaitu mencoba untuk membuka sebuah usaha kecil yang kami jual secara berkeliling dalam 2 hari di 2 tempat berbeda, yaitu pertama di Dago (daerah Car Free Day) dan di Universitas Widyatama.

Usaha yang kami lakukan dalam 2 minggu ini sangatlah singkat, tapi dari sini kami mengetahui bagaimana menjadi "Berbeda itu Nyata" dan kami belajar bagaimana susah dan senangnya pada saat berbisnis.

Usaha yang kami lakukan yaitu menjual sebuah kue Cup Cake , terdapat 2 jenis Cup Cake yang kami tawarkan kepada semua orang, yaitu yang memiliki Cream dan tidak memiliki Cream.

Tujuan dari usaha ini yaitu kami ingin mendapatkan pengalaman yang berbeda dan mengetahui bagaimana susah senangnya menjadi seorang wirausaha.

<iframe width="640" height="400" src="http://www.youtube.com/embed/Li7Hxjidx1s" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

Artikel Terkait:

Wednesday, October 12, 2011

Partisipasi Mahasiswa Menulis untuk Meningkatkan Diskusi Akademis

Menghubungkan diskusi kelas dengan menulis dapat membantu Anda fokus pada tujuan untuk meningkatkan keterlibatan siswa. Tips berikut tentang penggunaan menulis untuk meningkatkan diskusi dari Pusat Studi dan Pengajaran "The Ohio State University."

Bagaimana cara memfasilitasi partisipasi yang produktif dan aktif di kelas? Bagaimana kita bisa menghubungkan keterlibatan kelas dengan tulisan yang siswa lakukan di luar kelas?

 Beberapa dosen tertarik untuk melakukan diskusi dan keterlibatan mahasiswa, mereka melihat partisipasi dalam kelas sebagai cara untuk memperluas bagaimana mahasiswa berpikir tentang masalah tertentu atau menginterpretasikan suatu buku tertentu. Beberapa dosen mungkin mendekati topik keterlibatan kelas dengan sedikit gamang, mereka khawatir yang mungkin terjadi jika siswa tidak berpartisipasi dan percakapan berhenti, atau jika siswa terjebak dalam perdebatan yang panas tentang topik kontroversial. Menghubungkan diskusi kelas dengan partisipasi mahasiwa untuk menulis dapat membantu Anda memfokuskan tujuan untuk meningkatkan keterlibatan siswa. Menghubungkan keterlibatan kelas dan partisipasi menulis akan menjadi lebih penting bila kita harus menyesuaikan diri dengan mengajar kelas (semester) pendek!

Minggu Pertama: Awali dan akhiri kelas Anda dengan beberapa menit menulis bebas.

Hal ini  untuk membantu mahasiswa punya pendirian dan menyimpulkan pikiran mereka sendiri di kelas. Coba angkat masalah atau isu yang relevan ke kelas. Awali kelas Anda dengan memberikan mahasiswa waktu lima menit untuk menulis tentang referensi mereka. Ini akan memberi mereka waktu untuk "ganti persneling" dan fokus pada topik di kelas, dan juga akan memberi mereka sesuatu yang konkret untuk membangun partisipasi kelas. Setelah siswa menulis di akhir kelas, dapat membantu mereka untuk menarik pemikiran mereka selama periode itu, mulai mempertimbangkan isu-isu sesi berikutnya, dan menghubungkan diskusi untuk tugas-tugas mereka. Selain itu, jika Anda memiliki kesempatan untuk mengumpulkan tulisan mereka, Anda dapat memiliki gambaran yang benar-benar kaya dari apa yang siswa pikirkan dan bagaimana mereka belajar. Anda bahkan tidak perlu menilai refleksi-refleksi ini.

Tunjukkan bahwa menulis adalah cara yang baik untuk membangun pikiran seseorang, dan bahwa diskusi dan kuliah akan membantu membangun ide dari latihan menulis bebas. Menulis bebas dapat sangat efektif bila Anda mengarahkan siswa langsung terhadap pertanyaan tertentu atau masalah, dan ketika Anda secara eksplisit menghubungkan penulisan yang siswa lakukan untuk pembahasan atau kegiatan berikutnya .

Minggu Berikutnya: Mengembangkan kerja kelompok dan kegiatan diskusi.

yang meminta mahasiswa untuk praktek menulis dan mengembangkan keterampilan berpikir  yang mereka perlukan untuk tugas-tugas menulis mereka. Bagilah kelas menjadi kelompok-kelompok dan membuat kegiatan yang mendorong siswa untuk melatih keterampilan yang mereka akan gunakan dalam tulisan mereka dengan cara yang interaktif. Minta kelompok-kelompok itu untuk menulis tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan ini dan posting mereka ke papan diskusi atau membaca dengan suara keras di kelas.

Sebagai contoh, seorang dosen dalam ilmu sosial dapat meminta siswa untuk membentuk sebuah tesis operasional untuk mengatasi masalah atau pertanyaan yang luas. Kemudian, kelompok ini bisa berdiskusi variabel potensial yang beririsan untuk tesis kelompok lain, dan anggota kelompok ini bisa merevisi tesis mereka yang lebih baik untuk variabel tersebut.

Seorang dosen humaniora mungkin meminta siswa membangun suatu pernyataan analitis berdasarkan teks yang kelas telah membaca dan menganalisisnya. Kelompok mahasiswa kemudian bisa membaca bukti tekstual yang mendukung dan meragukan atau bertentangan dengan tesis yang ada, serta mereka bisa merevisinya karena menemukan dan mengintegrasikan bukti baru dari teks.

Dosen bisa menampilkan data dari studi yang ada dan meminta kelompok untuk mendiskusikan dan menulis kesimpulan yang mungkin menarik dari data-data tersebut. Kelompok itu kemudian membaca hasil riset asli, membandingkan dan mengevaluasi kesimpulan mereka dengan laporan penelitian yang sudah ada.

Dosen dapat menekankan bahwa siswa harus mendengarkan setiap posisi anggota kelompok  dan melalui dialog kolaboratif, menyepakati tesis dan bukti pendukung. Setelah siswa mempraktekannya secara singkat, menulis kolaboratif informal dapat membantu mereka melihat menulis sebagai sebuah proses  langsung dari keterlibatan kolaboratif. Hal ini juga memberikan kesempatan bagi siswa untuk membahas bagaimana kolaborasi tidak terpisahkan untuk proses penelitian dan pengetahuan.

<iframe width="640" height="480" src="http://www.youtube.com/embed/5HePQWodWiQ" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

Artikel terkait:


Monday, October 10, 2011

LOTEK PARANTI YANG FENOMENAL: Wawancara Kewirausahaan Informatika Widyatama



Lotek adalah salah satu makanan tradisional yang telah ada sejak dahulu kala. Lotek itu berupa sayuran yang di bumbui oleh bumbu kacang yang dapat disajikan dengan lontong atau nasi hangat, disertai dengan kerupuk dan bawang goreng. Biasanya tidak ada yang spesial dari makanan tradisional ini, karena hampir semua orang mungkin dapat membuatnya, selain itu juga banyak penjual yang menjual lotek dimana-mana, dan biasanya memiliki rasa yang hampir sama satu sama lain, tetapi ternyata ada salah satu lotek yang fenomenal, yang memiliki keunikan dan membuat banyak orang membelinya dengan harga yang relatif mahal. Lotek tersebut bernama Lotek Paranti.

Lotek Paranti berdiri sejak tahun 1953, didirikan oleh Ibu Uwat. Ibu Uwat adalah mertua dari Ibu Hani yang sekarang mengurus usaha Lotek Paranti ini sejak tahun 1996. Dari dulu hingga saat ini Lotek Paranti masih berlokasi di Jalan Cilentah no.4. Namun sewaktu awal berdiri, lotek ini hanya berjualan diatas satu meja, lalu usaha lotek ini terus maju hingga memiliki tempat yang nyaman seperti saat ini.

Dilihat dari penampilan, Lotek Paranti hampir sama dengan lotek-lotek lain yang dijual seperti biasanya, tetapi setelah dicicipi lotek ini mempunyai rasa yang 'beda' juga bumbu kacangnya lebih terasa gurih tetapi tetap pas disajikan dengan semua sayuran. Rasa yang membedakannya lagi adalah adanya kerupuk yang dibubukkan dan dicampur kedalam bagian lotek, dan cara penyajiannya pun menggunakan bawang goreng dan kerupuk emping. Hal unik lainnya ialah lotek ini tidak berair meskipun sudah dibiarkan beberapa jam.

Di Lotek Paranti ini menjual 2 macam makanan yang terdiri dari lotek dan rujak. Loteknya pun ada dua jenis yaitu, lotek 'mateng' dan juga lotek 'mentah'. Namun kebanyakan orang yang datang ketempat ini membeli lotek 'mateng'. Hal menarik lainnya adalah hampir semua usia menyukai lotek ini, padahal biasanya kebanyakan dari anak-anak tidak menyukai makanan tradisional, tetapi lotek ini merubah anggapan bahwa anak-anak tidak menyukai makanan tradisional.
Lotek Paranti menjual loteknya seharga Rp15.000,00 dan Rp13.000,00 untuk harga rujak. Dengan harga yang terbilang mahal untuk ukuran harga sebuah makanan traditional seperti lotek, angka penjualan lotek ini per hari nya bisa mencapai 100-150 bungkus dihari biasa, namun dihari libur merah dan Hari Libur Nasional penjualannya bisa mencapai 300 bungkus.

Hal ini sungguh sangat fenomenal untuk sebuah usaha lotek, tetapi itulah kenyataan yang terjadi di pasaran. Karena pesatnya usaha lotek ini, pengurus lotek membuka franchise untuk lebih meningkatkan usahanya. Rencananya pada tahun ini akan dibuka dua cabang baru yaitu di Kota Bali dan Medan.

Dari hasil usaha yang diurusnya, Ibu Hani bisa menyekolahkan anak-anaknya dan bisa merenovasi rumah, membeli mobil dan masih banyak keuntungan yang lainnya.

<iframe width="640" height="480" src="http://www.youtube.com/embed/VJANeJUsfbY" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

Artikel Terkait:

Saturday, October 8, 2011

Steve Jobs: Kemana....Kemana? Muncul dan Hilangnya Inovasi

Bila kita bayangkan seseorang dari tahun 1970 melakukan perjalanan waktu ke masa depan yaitu hari ini. Anda bisa menunjukkan salah satunya adalah Steve Jobs yang menciptakan iPhone. Orang kembali kemudian membayangkan komunikasi nirkabel (pada film Dick Tracy atau Star Trek), tetapi mereka tidak pernah membayangkan kita bisa menyimpan informasi seluruh dunia  melalui perangkat berukuran saku. Perjalanan waktu kita akan bergetar dengan kegembiraan. Kita ingin tahu apa keajaiban teknologi lainnya yang telah ditemukan dalam 41 tahun terakhir. Kita tahu tentang ruang koloni di Mars, mobil terbang, pesawat bertenaga nuklir supercepat  dan organ buatan. Orang yang lahir pada tahun 1900 dimulai dengan adanya kereta kuda dan meninggal dengan peristiwa laki-laki berjalan di Bulan, tetapi beberapa dekade terakhir ini kita tidak melihat kemajuan teknologi seperti itu. 

Baru-baru ini, sejumlah penulis telah berpikir adanya perlambatan inovasi. Michael Mandel menulis artikel di Business Week pada tahun 2009. Tyler Cowen menulis sebuah buku berpengaruh The Great Stagnation: How America Ate All The Low-Hanging Fruit of Modern History,Got Sick, and Will Eventually Feel Better pada tahun 2010. Penulis Fiksi Ilmiah Neal Stephenson baru saja menerbitkan sebuah makalah yang disebut  “Innovation Starvation” di World Policy Journal  dan Peter Thiel, yang membantu menciptakan PayPal dan keuangan pada Facebook, memiliki sebuah esai berjudul "Akhir dari Masa Depan" (The End of the Future) dalam National ReviewPenulis-penulis ini mengakui bahwa telah terjadi inovasi yang luar biasa dalam teknologi informasi. Bidang Robotika tampaknya juga tumbuh dengan baik. Namun kecepatan inovasi melambat di banyak sektor lainnya. 

Sebagai titik awal, Thiel mengatakan, kita melakukan perjalanan dengan kecepatan yang sama seperti yang kita lakukan setengah abad yang lalu, apakah di darat atau di udara. Kita bergantung pada sumber energi dasar yang sama. Warren Buffett melakukan investasi $ 44 miliar pada 2009, ia berinvestasi pada rel kereta api yang membawa batubara. Revolusi Hijau meningkatkan hasil gabah dengan 126 persen pada kurun 1950-1980, namun hasil itu meningkat hanya sebesar 47 persen pada dekade selanjutnya. Perusahaan-perusahaan farmasi besar sangat sedikit mengeluarkan obat-obatan fenomenal karena memangkas dana departemen riset mereka. 

Jika kita percaya tesis stagnasi inovasi, ada tiga penjelasan yang paling menarik tampaknya. Pertama, sifat bukit ganda dari kurva belajarKetika peneliti mendaki bukit pertama dari masalah, mereka pikir mereka dapat melihat puncak.Tapi begitu mereka sampai di sana, mereka menyadari hal-hal yang lebih rumit daripada yang mereka pikir. Mereka harus kembali ke dasar dan mendaki sebuah bukit pengetahuan yang bahkan lebih curam depan. KIta telah melalui fase  dalam segala macam masalah - genetika, energi, penelitian kanker dan Alzheimer. Inovasi tentu akan datang, hanya saja tidak secepat yang kita pikir. 

Kedua, telah terjadi kehilangan idealisme dan utopianismeJika kita kembali dan berpikir tentang Pameran Dunia besar Amerika, atau jika Anda membaca tentang Bell Labs (Laboratorium perusahaan tempat saya bekerja dulu) pada masa kejayaannya atau Silicon Valley di tahun 1980 atau 1990, kita melihat orang-orang dalam cengkeraman visi idealisme mereka. Mereka membayangkan dunia yang sempurna. Mereka merasa seolah-olah memiliki kekuatan untuk memulai dunia baru. Ini adalah delusi (pikiran yang tidak berdasar), tetapi ini adalah delusi yang menjadi inspirasi.  

Utopianisme ini hampir tak bisa ditemukan saat ini. Stephenson dan Thiel menunjukkan bahwa buku fiksi ilmiah sekarang sekarat; pekerjaan saat ini merupakan distopia (kondisi hidup yang buruk), bukan inspirasi. Thiel berpendapat bahwa etos lingkungan telah merusak kepercayaan adanya sihir teknologi. Lembaga-lembaga hukum dan budaya TV kita mengurangi antusiasme dengan menghukum kegagalan tanpa ampun. Padahal, kegagalan awal NASA dipandang sebagai langkah sepanjang jalan menuju masa depan yang gemilang.  

Ketiga, tidak adanya benturan budaya yang ekstrim. Lihatlah sejarah hidup Steve Jobs. Selama hidupnya, ia mengkombinasikan tiga ruang hidup yang asinkron - Budaya anti kemapanan tahun 1960-an, budaya awal "penggila (Geeks)" komputer  dan budaya perusahaan Amerika. Ada "Hippies", "The Whole Earth Catalogue" dan eksplorasi spiritual di IndiaAda juga jam yang dikhususkan untuk mencoba membangun sebuah kotak untuk membuat panggilan telepon gratis :-) Penggabungan tiga "kehidupan" ini memicu inovasi yang berkelanjutan, menghasilkan tidak hanya produk baru dan gaya manajemen, tetapi juga kepribadian yang baru - seragam perusahaan berupa celana jins dan T-Shirt lengan panjang hitam. Ini didahului orang-orang marjinal yang datang bersama-sama, bersaing keras dan mencoba untuk menyelesaikan hubungan mereka sendiri yang tidak nyaman dengan masyarakat. 

Akar inovasi yang besar tidak pernah hanya di teknologi itu sendiri. Mereka selalu dalam konteks sejarah yang lebih luas. Mereka membutuhkan cara baru untuk melihat. Seperti Einstein mengatakan, "Masalah penting yang kita hadapi tidak bisa dipecahkan pada tingkat pemikiran yang sama pada saat kita menciptakan hal tersebut." 

Jika Anda ingin menjadi Steve Jobs dan selanjutnya mengakhiri stagnasi inovasi, mungkin Anda harus mulai mencoba hal-hal yang sama sekali baru.

<iframe width="640" height="360" src="http://www.youtube.com/embed/NugRZGDbPFU" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

 


Friday, October 7, 2011

Pendidikan Untuk Kebahagiaan atau Kebahagiaan Untuk Pendidikan

Menurut Langeveld: "Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa." Sedangkan John Dewey mengatakan: "Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia." Ki Hajar Dewantara mengatakan: "Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya."

Di lain fihak, menurut Neil Nodding dari Universitas Cambridge (Pengarang buku "Happiness and Education"): "Kenyataan bahwa arti Kebahagian dan Pendidikan tampaknya semakin bertentangan akhir-akhir ini dan salah satu motif untuk menanganinya secara baik dan menjadi terkait erat. Kebahagiaan harus menjadi tujuan pendidikan, dan pendidikan yang baik harus memberikan kontribusi yang signifikan untuk kebahagiaan pribadi dan kolektif." Menurut dia, dari data-data yang ada telah meningkat kekhawatiran tentang hubungan antara hilangnya kebahagiaan, penderitaan, kebosanan, dan sekolah. Mengapa begitu banyak orang-orang kreatif membenci sekolah? Melihat penderitaan mereka terdokumentasi dengan baik, mengapa kita terus membenarkan dengan alasan lama, "Suatu saat nanti kamu akan berterima kasih atas ini"? Orang tua dan pendidik yang melanjutkan sikap ini, sebagian karena anak-anak dewasa begitu banyak berterima kasih kepada kita untuk kesuksesan yang mereka anggap - kesuksesan yang kadang-kadang dipertanyakan, bahwa itu adalah hasil kesengsaraan mereka sebelumnya. Maka, mereka siap, bahkan bersemangat, untuk menimbulkan babak baru penderitaan pada orang lain. Memang, banyak orangtua dan guru takut untuk tidak melakukan hal ini, takut bahwa anak-anak akan dimanjakan, siap, tidak disiplin, tidak berhasil, dan akhirnya tidak bahagia.

Melalui lebih dari lima dekade pengajaran dan pengasuhan, saya perhatikan juga bahwa anak-anak (dan orang dewasa, juga) belajar dengan hasil paling baik jika mereka bahagia. Ini bukan untuk mengatakan bahwa metode yang keras tidak pernah efektif dalam memproduksi pembelajaran, juga tidak berarti bahwa kekesalan dan kemarahan absen dari kehidupan mahasiswa yang bahagia. Sebaliknya, tantangan dan perjuangan merupakan bagian dari pencarian pengetahuan dan kompetensi. Perjuangan merupakan aspek pembelajaran yang tak terelakkan, kita sebagai pendidik  harus menciptakan perjuangan untuk siswa kita, dan siswa umumnya senang dengan studi seperti ini karena mereka lebih mampu memberi arti masa sulit dan mendapatkan hasilnya melalui perjuangan mereka dengan puas.

Ini adalah pengamatan utama yang telah membawa Neil Nodding ke sebuah studi tentang kebahagiaan dan pendidikan. Mengapa kita begitu sering mengalahkan tujuan kita sendiri dengan memilih cara yang jelas bertentangan dengan tujuan kita? Jika, misalnya, kita mengajarkan puisi dengan harapan bahwa itu akan menjadi sumber kebijaksanaan seumur hidup dan menyenangkan, mengapa kita membuat bosan siswa dengan analisis tanpa henti dan penekanan pada kosakata teknis? Mengapa kita katakan pada anak-anak untuk melakukan yang terbaik mereka dan kemudian memberi mereka nilai rendah saat terbaik mereka tidak sebagus orang lain? Mengapa dalam hal ini, kita memberikan nilai yang tidak membahagiakan sama sekali?

Terkait erat dengan pengamatan bahwa siswa yang senang belajar akan lebih baik daripada yang tidak bahagia adalah sesuatu yang harus kita perhatikan untuk menjadi lebih penting. Orang-orang bahagia jarang terlibat kekerasan, atau kejam. Karena itu, dipercaya adalah benar sebagian besar individu, kelompok-kelompok dan bahkan seluruh masyarakat bisa bahagia melalui proses pendidikan yang benar,  sementara yang lain menderita di bawah eksploitasi dan mengabaikan kehidupan. Kita harus bertanya apa orang tersebut bahagia? Bagaimanapun, kita harus menegaskan pernyataan awal: Individu yang bahagia jarang terlibat kekerasan atau sengaja menjadi kejam, baik kepada manusia lain, binatang atau mahluk selain manusia. Orientasi dasar kita untuk pendidikan moral, harus menjadi komitmen untuk membangun sebuah dunia di mana keduanya mungkin (Pendidikan dan Kebahagiaan) dan diinginkan agar siswa menjadi baik - dunia di mana siswa bahagia.

<iframe width="640" height="480" src="http://www.youtube.com/embed/bBEULVgh5Os" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

Related articles, courtesy of Zemanta:

Thursday, October 6, 2011

Manajemen Proyek "Database Sekolah Kota Bandung"

Dokumentasi Kuliah Manajemen Proyek Perangkat Lunak

"Pengembangan Web Bapinger Dengan MySQL Untuk Database Sekolah Di kota Bandung" 

Oleh:
Kelompok 6 Kelas A 
Ketua Tim: Dwi Marlina
Anggota 1: Muhammad Faizal Haq
Anggota 2: Satio Kusniawan
Anggota 3: Suggy Junivans
Anggota 4: Kurnia Jaya Eliazar

Project Sponsor/Dosen
Djadja Sardjana S.T,M.M.

Teknik Informatika Universitas Widyatama Bandung

[youtube http://www.youtube.com/watch?v=7ur3BEpzPsQ&w=640&h=400]

Related articles, courtesy of Zemanta:

Tuesday, October 4, 2011

"Siapa yang Membunuh Mobil Listrik?" (Who Killed the Electric Car?): Korban Konspirasi Korporasi dan Birokrasi

Sebagai sebuah film "misteri pembunuhan", "Siapa yang Membunuh Mobil Listrik?"  (Who Killed the Electric Car?) adalah  salah satu karya dokumenter yang berhasil. Seperti "Inconvenient Truth" dari Al Gore dan dokumnter nonfiksi tentang perang di Irak, film ini penuh dengan informasi dan sejarah tentang upaya untuk memperkenalkan - dan mempertahankan - kendaraan listrik di jalan pada kurun 1996-2006. Untuk sutradara film Chris Paine, bukti-bukti yang ada "terlalu mengerikan dan udara politik terlalu kotor" untuk hidupnya mobil listrik di Amerika Serikat saat itu.  
   
Cepat dan Lugas, film "Siapa yang Membunuh Mobil Listrik?" ditingkahi kisah sedih upaya yang heroik oleh sekelompok orang berpikiran terbuka untuk menyelamatkan bumi dari pemanasan global. Cerita sebagian besar diungkap selama kurun tahun 1990-an, ketika beberapa produsen mobil, termasuk General Motors, yang didorong untuk mengejar masa depan mobil yang bersih. Pada tahun 1990 "California Air Resources Board" mengadopsi mandat "Kendaraan Nol Emisi" dalam upaya untuk memaksa perusahaan mobil untuk memproduksi kendaraan bebas gas buang. Idenya sederhana: "Kita jangan tersedak sampai mati di limbah polusi kita sendiri". Tujuan itu tampaknya sederhana: pada tahun 1998, 2 persen dari semua mobil baru yang dijual di pasar kendaraan terbesar di negara itu akan tanpa gas-buang, sehingga membuat gaya hidup California lebih ramah lingkungan. 

Mengingat bahwa beberapa perusahaan, termasuk GM, sudah menciptakan prototipe untuk mobil listrik yang dapat diproduksi secara massal. Percaya atau tidak, mobil listrik telah dikenal selama era mobil diciptakan, kata tokoh otomotif Phyllis Diller. Film arahan Paine ini dibumbui dengan kesaksian bintang Hollywood, yang menjelaskan mengapa, di samping ahli mobil, berbicara tentang perlunya mobil listrik sebagai alternatif kendaraan ramah lingkungan . 

Agaknya Pak Paine berpikir, khalayak perlu mendengarkan tokoh terkenal dan tidak terkenal, seperti kasus Nona Diller, yang bernostalgia kepada kendaraan listrik pertama di depan sebuah lukisan berbingkai Tokoh Komedi Bob Hope. Kedua komedian dan pembuat film pasti tahu bagaimana menarik perhatian kita terhadap nasib mobil listrik pertama GM sat itu.

Henry Ford dan minyak murah membantu mencegah mobil listrik dipergunakan di jalan-jalan Amerika, meninggalkan sistem jalan raya yang tumbuh cepat dengan mesin yang memuntahkan polusi pembakaran internal. Bergerak cepat antara wawancara dan sebuah tayangan visual yang mengejutkan,  Mr Paine menjabarkan bagaimana "kisah cinta negara AS dengan mobil haus bensin", serta cepat berubah menjadi cinta buta. Pada tahun 1950-an, dimana Jack Kerouac dan James Dean bersinar,  pejalan kaki Los Angeles yang menerjang jalan-jalan kota terlihat menutupi mulut mereka dengan sapu tangan, mencoba untuk menyaring udara. Beberapa dekade kemudian, negara mengambil tindakan berani untuk mencegah polusi dari kendaraan bermotor. Apa yang terjadi selanjutnya, Mr Paine menjelaskan, adalah kisah adanya keserakahan korporasi dan korupsi pemerintah, berhadapan dengan semangat idealisme dan kemarahan. 

Ini adalah kisah Mr Paine dengan gigitan keras pada konspirasi hilangnya mobil listrik saat itu. Pada tahun 1996 surat kabar Los Angeles melaporkan bahwa "dewan pengwasan udara California ragu dengan kesediaan konsumen untuk menerima mobil listrik, yang harganya mahal dan memiliki jarak perjalanan yang terbatas." Mr Paine melampaui laporan ini, menunjukkan bahwa salah satu alasan dewan ragu-ragu karena ketuanya pada waktu itu, Alan C. Lloyd, telah bergabung dengan "California Fuel Cell Partnership". Didirikan pada tahun 1999, kemitraan ini merupakan upaya bersama dari badan-badan federal dan negara, perusahaan sel bahan bakar, produsen mobil seperti GM dan energi seperti Exxon untuk mengeksplorasi "potensi" kendaraan bertenaga sel bahan bakar hidrogen.

Mengapa perusahaan seperti Exxon tertarik teknologi kendaraan nol-emisi - menurut beberapa pihak berwenang yang diwawancarai dalam film, seperti Joseph J. Romm, seorang sekretaris asisten di Departemen Energi selama pemerintahan Clinton dan penulis "The Hype About Hydrogen"- mengatakan adalah jauh dari kenyataan penggunaanya di jalan raya? Jawabannya mungkin tidak mengejutkan Anda, terutama jika Anda cenderung untuk menonton film berjudul "Siapa yang Membunuh Mobil Listrik,?" (Who Killed the Electric Car?). Mr Paine dengan tegas menjelaskan, cerita dari mobil listrik lebih besar dari satu perjalanan bergairah dari orang-orang yang menyukainya. Ini seperti cerita es di kutub utara yang terpisah sampai ke Los Angeles, suatu cerita besar tentang kehidupan, dan mendesak untuk dipikirkan sebagai solusi ramah lingkungan.

<iframe width="640" height="360" src="http://www.youtube.com/embed/nsJAlrYjGz8" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

Related articles, courtesy of Zemanta:

Sunday, October 2, 2011

Makna Hidup: Apa Priortas Hidup Anda?

 Apa kegiatan anda sehari-hari?  

Santai dan  "easy going" ? Tak tahu mana yang  penting dan genting?  Menikmati kegiatan yang penting namun tidak genting? Pusing tujuh keliling dengan hal yang tidak penting namun genting?  Serta "having fun" untuk kegiatan yang tidak penting dan tidak genting?

Apa sesungguhnya  prioritas  anda dalam hidup ini?  Keluarga, Karir,  Kesenangan, Harga diri, Uang/Kekayaan, Pendidikan atau sama saja? Pilihan atau prioritas tersebut menjadi semacam "komedi putar" yang membingungkan kita semua untuk menentukan yang terbaik. Coba lihat matriks  waktu  di bawah ini.........

Pada matriks-1 terlihat contoh2 kegiatan yang memakan energi besar (ingat Teori: Energi=  Daya/Gaya x Waktu) karena sifatnya yang penting dan genting ("urgent")  . Matriks-2 memperlihatkan kegiatan penting namun tidak genting. Matriks-3 dipenuhi kegiatan yang tidak penting namun tiba2/mendadak harus diselesaikan........ Terakhir Matriks-4 kegiatan yang tidak penting dan juga tidak genting....

Sesuai dengan arahan dari Bapak Stephen Covey, sebetulnya yang perlu menjadi prioritas kita adalah kegiatan pada maktriks-2 dengan mendahulukan kegiatan2 penting namun tidak genting seperti Pencegahan (Prevention...Inga2........mencegah itu lebih baik dari pada mengobati/memperbaiki), Membangun Hubungan Baik (Relationship), Perencanaan/Persiapan (Planning/Preparation), Sistem Implementasi(Implementing Systems) dan Pengetahuan Profesional (Proffesional Knowledge). 

Coba kita lihat dan renungkan gambar di bawah. Seseorang sedang menuangkan kerikil, pasir dan air ke sebuah bejana? Urutan mana yang harus diikuti diantara ketiganya bila massanya sama besar agar bejana dapat menampung sebanyak-banyaknya? Apa perbedaannya?


Foto dari: http://i4.photobucket.com/albums/y137/hanan2jahid/Gelas.jpg

Menurut percobaan bila kita urutkan pengisian bejana dengan urutan:
  1. Mengisi bejana dengan kerikil terlebih dahulu
  2. Kemudian dimasukkan pasir pada bejana dan diratakan atau di-goyang2 agar masuk di-sela kerikil.
  3. Terakhir air dituangkan sampai memenuhi bejana.

Terbukti dengan urutan diatas, volume yang dapat diterima oleh bejana akan paling besar dibanding dengan urutan penuangan yang lain.

Hal ini sesuai dengan hukum fisika sederhana sbb: 

  1. Kerikil akan mengisi bejana dengan volume paling besar.
  2. Pasir akan mengisi volume dari bejana diantara rongga kerikil2 yang ada
  3. Air akan memenuhi semua tempat yang tersisa dari bejana sampai penuh.

Apa hubungannya dari perumpamaan di atas dengan prioritas hidup anda?

Sekali lagi menurut Pak Covey (lihat clip videonya disini), dalam hidup kita harus mencari kegiatan dengan prioritas pertama dan utama (digambarkan dengan kerikil) seperti kegiatan matriks-2. Kemudian kita mengisi sela atau celah waktu kita dengan kegiatan pada matriks-1(digambarkan dengan pasir) dan matriks-3 (digambarkan dengan air) dengan jumlah persentase gabungan keduanya tidak boleh melebihi kegiatan matriks-2 . Sedangkan kegiatan pada matriks-4 hanyalah merupakan kegiatan yg boleh ada atau bisa jadi tiada serta tidak merugikan diri anda. 

So....bagaimana dengan anda?

Saturday, October 1, 2011

Karakteristik "Online Learner" Pendidikan Tinggi dan Implikasi Pedagogis-nya

Karakteristik Pembelajar Online (Online Learner)  dewasa ini sangat berbeda dengan karakteristik pembelajar pada sistem pendidikan jarak jauh klasik. Pembelajar jarak jauh dengan memanfaatkan jasa teknologi internet lebih memanfaatkan jaringan komunikasi sosial (social collaborative network for learning). Pembelajar Online (Online Learner), yang merupakan karakteristik pembelajar abad 21 juga harus memiliki beberapa keterampilan diantaranya keterampilan komunikasi sosial, keterampilan dialogis, keterampilan evaluasi diri maupun kelompok, dan keterampilan refleksi.  

[slideshare id=9496444&doc=comlabs-karakteristikonlinelearnerpendidikantinggidanimplikasipedagogis-nya-04mar2011-111001024732-phpapp02&type=d]

<iframe width="640" height="480" src="http://www.youtube.com/embed/I4FJMJtt8dk" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

Thursday, September 29, 2011

Pojok Pendidikan Publishing: Buku "Bunga Rampai Pendidikan Kreatif Edisi-1" Sudah Terbit


 

Saya selalu mengatakan bahwa: “Pendidikan adalah Benteng Terakhir Peradaban Manusia”. Mengapa, betapa besar peranan pendididikan dlam hajat hidup manuasia yang dikatakan oleh Aristoteles: “Pendidikan adalah bekal paling baik dalam menghadapi hari tua”.


Pendidikan dalam kaitannya dengan mobilitas sosial harus mampu untuk mengubah arus utama (mainstream) peserta didik akan realitas sosialnya. Pendidikan merupakan anak tangga mobilitas yang penting. Pendidikan dapat menjadi penyandar bagi mobilitas. Seiring dengan perkembangan zaman kemudian kita lebih mempercayai kemampuan individu atau keterampilan yang bersifat praktis daripada harus menghormati kepemilikan ijasah yang kadang tidak sesuai dengan kenyataannya. Inilah yang ahirnya memberikan peluang bagi tumbuhnya pendidikan  yang lebih bisa memberikan keterampilan praktis bagi kebutuhan dunia yang tentunya memiliki pengaruh bagi seseorang.

Pendidikan yang tepat untuk mengubah paradigma ini adalah pendidikan kritis yang pernah digulirkan oleh Paulo Freire. Sebab, pendidikan kritis mengajarkan kita selalu memperhatikan kepada kelas-kelas yang terdapat di dalam masyakarakat dan berupaya memberi kesempatan yang sama bagi kelas-kelas sosial tersebut untuk memperoleh pendidikan. Disini fungsi pendidikan bukan lagi hanya sekedar usaha sadar yang berkelanjutan. Akan tetapi sudah merupakan sebuah alat untuk melakukan perubahan dalam masyarakat. Pendidikan harus bisa memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang realitas sosial, analisa sosial dan cara melakukan mobilitas sosial.  

Tulisan dalam Buku “Bunga Rampai Pendidikan Kreatif” ini dimaksudkan sebagai tambahan menu dalam dunia pendidikan yang mudah-mudahan memberikan wawasan baru. Walaupun bukan merupakan buku referensi dan ditulis dengan gaya populer, diharapkan menambah khasanah bagi semua pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia.

Semoga.

 Pendidik Pembebas

Djadja Achmad Sardjana

Buku bisa dipesan di : http://www.nulisbuku.com/books/view/bunga-rampai-pendidikan-kreatif-edisi-1

 

[slideshare id=6413231&doc=presentasigurukreatifpojokpendidikan-30dec10-101231023256-phpapp01]

 

Related articles, courtesy of Zemanta:

Saturday, September 24, 2011

Diky Candra, Joko Widodo dan Arti Sebuah Amanah

Akhir-akhir ini ada dua tokoh yang terkenal karena jabatannya: Dicky Chandra dan Joko Wi. Keduanya akhir-akhir ini menduduki rating tinggi di beberapa media televisi, majalah, surat kabar dan online. 

Diky Candra (Sumber dari Wikipedia)

Raden Diky Candranegara (lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 12 Mei 1974; umur 37 tahun) atau yang lebih dikenal dengan Diky Candra adalah seorang pria Indonesia yang berprofesi sebagai pelawak, MC, sutradara, penulis naskah dan aktor dalam dunia hiburan di tanah air. Ia adalah wakil bupati Garut untuk periode 2009-2013

Pada tahun 2008 Diky mencalonkan diri sebagai Wakil Bupati Garut mendampingi calon bupati Aceng Fikri sebagai wakil kelompok independen. Setelah melalu dua putaran pemilihan akhirnya Aceng-Diky terpilih menjadi Bupati-Wakil Bupati Garut untuk periode 2009-2014.

Persoalan mulai muncul ketika Dicky Chandra  mengajukan Pengunduran diri, yang menurut beberapa kalangan merupakan tindakan seorang ksatria yang harus diberikan apresiasi dan dihormati. Selain itu, Dicky Chandra telah melakukan tindakan seorang pemimpin yang bertanggungjawab apabila dirinya memang mengakui tidak mampu memimpin.

"Ini adalah suatu tindakan dan langkah yang bertanggungjawab yang dilakukan oleh Dicky Chandra," kata beberapa tokoh.

Menurut beberapa kalangan, ia  bisa membangun Kabupaten Garut dan tidak harus menjadi pejabat seperti Bupati atau Wakil Bupati dengan memiliki karya yang bermanfaat merupakan salah satu yang dapat membangun daerah. Apalagi Dicky Chandra, merupakan artis atau sosok figur yang dikenal banyak masyarakat di Garut maupun se-Indonesia yang tentunya dapat memberikan yang terbaik untuk Garut umumnya bangsa Indonesia dengan keahlian yang dimilikinya.

Sementara itu surat pengajuan pengunduran diri Wakil Bupati Garut, Dicky Chandra telah diterima oleh pimpinan DPRD Kabupaten Garut. Bahkan keputusan pengunduran diri Dicky Chandra itu sudah diketahui Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan, dan pihak DPRD sudah bertemu langsung dengan Wakil Bupati Garut Dicky Chandra untuk menjelaskan alasan pengunduran diri tersebut. Sementara itu Dicky Chandra merupakan sosok artis yang sering muncul di layar televisi mencalonkan diri menjadi Wakil Bupati bersama pasangannya Bupati Garut Aceng HM Fikri dari calon perseorangan pada Pilkada Garut 2009.

Joko Widodo (Sumber dari Wikipedia)

Ir. Joko Widodo (lahir di Surakarta, 21 Juni 1961; umur 50 tahun), lebih dikenal dengan nama julukan Jokowi, adalah walikota Kota Surakarta (Solo) untuk dua kali masa bhakti 2005-2015. Wakil walikotanya adalah F.X. Hadi Rudyatmo.

Jokowi meraih gelar insinyur dari Fakultas Kehutanan UGM pada tahun 1985. Ketika mencalonkan diri sebagai walikota, banyak yang meragukan kemampuan pria yang berprofesi sebagai pedagang mebel rumah dan taman ini; bahkan hingga saat ia terpilih. Namun setahun setelah ia memimpin, banyak gebrakan progresif dilakukan olehnya. Ia banyak mengambil contoh pengembangan kota-kota di Eropa yang sering ia kunjungi dalam rangka perjalanan bisnisnya.

Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan yang pesat. Branding untuk kota Solo dilakukan dengan menyetujui moto "Solo: The Spirit of Java". Langkah yang dilakukannya cukup progresif untuk ukuran kota-kota di Jawa: ia mampu merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka, memberi syarat pada investor untuk mau memikirkan kepentingan publik, melakukan komunikasi langsung rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) dengan masyarakat. Taman Balekambang, yang terlantar semenjak ditinggalkan oleh pengelolanya, dijadikannya taman.

Jokowi juga tak segan menampik investor yang tidak setuju dengan prinsip kepemimpinannya. Sebagai tindak lanjut branding ia mengajukan Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia dan diterima pada tahun 2006. Langkahnya berlanjut dengan keberhasilan Surakarta menjadi tuan rumah Konferensi organisasi tersebut pada bulan Oktober 2008 ini. Pada tahun 2007 Surakarta juga telah menjadi tuan rumah Festival Musik Dunia (FMD) yang diadakan di kompleks Benteng Vastenburg yang terancam digusur untuk dijadikan pusat bisnis dan perbelanjaan. FMD pada tahun 2008 diselenggarakan di komplek Istana Mangkunegaran. Oleh Majalah Tempo, Joko Widodo terpilih menjadi salah satu dari "10 Tokoh 2008".

Arti Sebuah Amanah

Bercermin dari dua kejadian di atas, apa yang dapat kita simpulkan dari "Arti Sebuah Amanah"? Terutama dihubungkan dengan amanah jabatan yang dipegang sebagai manifestasi kekuasaan "Dari Rakyat, Oleh rakyat dan Untuk Rakyat".

Menurut Syariah Online, Arti Sebuah Amanah digambarkan dalam sebuah ayat Al-Qur'an sbb: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (QS Al-Anfaal 27).

Ayat ini mengaitkan orang-orang beriman dengan amanah atau larangan berkhianat. Bahwa diantara indikator keimanan seseorang adalah sejauh mana dia mampu melaksanakan amanah. Demikian pula sebaliknya bahwa ciri khas orang munafik adalah khianat dan melalaikankan amanah-amanahnya. Amanah, dari satu sisi dapat diartikan dengan tugas, dan dari sisi lain diartikan kredibilitas dalam menunaikan tugas. Sehingga amanah sering dihubungkan dengan kekuatan. Firman Allah: “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya" (QS Al-Qhashash 27).

Oleh karena itu sekecil apapun amanah yang dilaksanakan, maka memiliki dampak positif berupa kebaikan. Dan sekecil apapun amanah yang disia-siakan, niscaya memiliki dampak negatif berupa keburukan. Dampak itu bukan hanya mengenai dirinya tetapi juga mengenai umat manusia secara umum. Seorang mukmin yang bekerja mencari nafkah dengan cara yang halal dan baik, maka akan memberikan dampak positif berupa ketenanggan jiwa dan kebahagiaan bagi keluarganya. Lebih dari itu dia mampu memberi sedekah dan infak kepada yang membutuhkan. Sebaliknya seorang yang mengaggur dan malas akan menimbulkan dampak negatif berupa keburukan, terlantarnya keluarga, kekisruhan, keributan dan beban bagi orang lain.

Kesalahan kecil dalam menunaikan amanah akan menimbulkan bahaya yang fatal. Bukankah terjadinya kecelakan mobil ditabrak kereta, disebabkan hanya karena sopirnya lengah atau sang penjaga pintu rel kereta tidak menutupnya? Bahaya yang lebih fatal lagi jika amanah dakwah tidak dilaksanakan, maka yang terjadi adalah merebaknya kemaksiatan, kematian hati, kerusakan moral dan tatanan sosial serta kepemimpnan di pegang oleh orang yang bodoh dan zhalim.

Harta, wanita dan kekuasaan memang merupakan sarana yang paling ampuh digunakan syetan untuk mengoda orang beriman agar melalaikan amanah, bahkan meninggalkannya sama sekali. Betapa sebagian da’i yang ketika tidak memiliki sarana harta yang cukup dan tidak ada kekuasaan yang disandangnya, begitu istiqomah menjalankan amanah dakwah. Tetapi setelah dakwah sudah menghasilkan harta dan kekuasaan, amanah dakwah itu ditinggalkan dan bahkan berhenti dari jalan dakwah dan futur dalam barisan jama’ah dakwah!

Oleh karena itu waspadalah terhadap harta, wanita dan kekuasaan! Itu semua hanya sarana untuk melaksanakan amanah dan jangan sampai menimbulkan fitnah yang berakibat pada melalaikan amanah. Dibalik dari menunaikan amanah terkadang ada bunga-bunga yang mengiringinya, harta yang menggiurkan, wanita yang menggoda sehingga orang yang beriman harus senanatiasa menguatkan taqarrub illallah dan istianah billah.

Amanah adalah perintah dari Allah yang harus ditunaikan dengan benar dan disampaikan kepada ahlinya. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.(QS An-Nisaa 58)

Amanah yang paling tinggi adalah amanah untuk berbuat adil dalam menetapkan hukum pada kepemimpinan umat. Pahala yang paling tinggi adalah pahala dalam melaksanakan keadilan sebagai pemimpin umat. Begitulah sebaliknya, bahaya yang paling tinggi adalah bahaya melakukan kezhaliman pada saat memimpin umat. Kezhaliman pemimpin akan menimbulkan kehancuran dan kerusakan total dalam sebuah bangsa. Maka kezhaliman pemimpin merupakan sikap menyia-nyiakan amanah yang paling tinggi.

<iframe width="640" height="410" src="http://www.youtube.com/embed/FQbwj368Vas" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

Related articles, courtesy of Zemanta:

  • Amanah - http://blog.re.or.id/amanah.htm
  • Amanah - http://cahayabunda.blogdetik.com/2011/01/21/amanah/
  • Arti Sebuah Amanah -- http://musyafucino.wordpress.com/tag/arti-sebuah-amanah/
  • Arti Dari Sebuah Amanah - http://ainicahayamata.wordpress.com/2010/02/10/arti-dari-sebuah-amanah/

Sunday, September 11, 2011

Educational Innovation, Technology and Entrepreneurship

      by Fernando Reimers | on http://blogs.hbr.org/innovations-in-education/2011/03/educational-innovation-technol.html

Editor's note: This post is part of a three-week series examining educational innovation and technology, published in partnership with the Advanced Leadership Initiative at Harvard University.


I have spent the last 25 years studying and working with governments and private groups to improve the education available to marginalized youth, in the United States and around the world. Most of that work was based in the belief that change at scale could result from the decisions made by governments, and that research could enlighten those choices. When I joined the Harvard faculty 13 years ago I set out to educate a next generation of leaders who would go on to advise policy makers or to become policy makers themselves, and designed a masters program largely responsive to that vision. During those years I continued to write for those audiences.

Over time, however, I have become aware that traditional approaches can't improve education at a scale and depth sufficient to ready the next generation of students for the challenges they will face. I have also become more skeptical of the assumed linear relationship between conventional research and educational change. I now believe the needed educational revitalization requires design and invention, as much as linear extrapolation from the study of the status quo — that is, of the past. It also requires systemic interventions — changes in multiple conditions and at multiple levels, inside the school and out. And it requires a departure from the conventional study into how much we can expect a given intervention or additional resource to change one educational outcome measure — typically a skill as measured on a test or access to an education level, or transition to the next.

It is this interest in change that has led me to study the work of education entrepreneurs — of innovators who are creating new education designs, in ways that exceed the resources they command. I am especially interested in the entrepreneurs whose goal is to produce significant educational innovation — rather than simply providing access and delivering services to new groups, or rather than improving the efficiency of the educational enterprise as we know them — to teach our old schools a few new tricks, so to speak. I am also particularly interested in entrepreneurs who can achieve sufficient scale and develop the strategy to significantly change the ecosystem, to shift the conversation about education, to eventually transform the sector in the way in which Wilhelm Humboldt transformed the sector of higher education with the creation of the University of Berlin, or in the way in which Joseph Lancaster propelled the universalization of basic education with the development of a method to teach a basic curriculum at low cost.

The conversations in these blogs on Educational Innovation and Technology are an exciting opportunity to explore a promising mix — the synergies that can result from combining innovation, the utilization of technology in education and the role of education entrepreneurs in creating new designs that can transform the ecosystem. It is in the interplay of these three factors that I see the greatest potential. Not all education entrepreneurs using technology generate innovation, and most of their designs have failed to transform the sector and not all innovators using technology have produced designs that can be scaled or with the ambition and potential to change the conversation or the sector. As a result, educational enterprise is a fragmented territory, of modest scale, yet to transform the education ecosystem.

In order for these three elements — innovation, technology and entrepreneurship — to produce the synergies necessary to substantially transform education, we will need to build a collaborative architecture that allows for the fruitful integration of careful study, design and invention, and action at scale. Such collaboration of industry, academy and the public schools is exceptional, not the conventional way of business for universities, governments or businesses.

Universities are uniquely positioned to lead in forging these partnerships. The trust we receive from society in the form of financial resources, financial and legal advantages and institutional autonomy enable us to anticipate new organizational forms to support educational renewal, rather than reproduce the established forms of the past. While we haven't done this consistently in the history of higher education in the US or abroad, there are good historical precedents of universities taking seriously the task of substantially improving the work of elementary and secondary schools, of serving those who are not direct members of the university community.

This is the time for universities to lead the task of fundamentally reinventing public education. But to do it well, we need to seriously commit to design and innovation, and to work with others — with entrepreneurs, industry and governments — so that their ambitions and impatience for results, and the accountability they have with the constituencies they serve, can help align our efforts with the creation of public value in the form of education institutions that prepare the next generation to lead and manage the challenges we have passed on to them.

Fernando Reimers is the Ford Foundation Professor of International Education and the Director of the International Education Policy Program at the Harvard Graduate School of Education. He is a member of the Council on Foreign Relations, a Fellow of the International Academy of Education, and Chair of the World Economic Forum's Global Agenda Council on Education.

Learn more about the Advanced Leadership Initiative at Harvard.

FERNANDO REIMERS

 

Fernando Reimers is the Ford Foundation Professor of International Education and the Director of the International Education Policy Program at the Harvard Graduate School of Education. He is a member of the Council on Foreign Relations, a Fellow of the International Academy of Education, and Chair of the World Economic Forum's Global Agenda Council on Education.