Friday, August 31, 2012

Proses Bisnis #TelematikaPedesaan @VillagePhone @GrameenTelecom

Bagaimana sebuah aktivitas usaha Universal Service Obligation (USO) bisa dikelola dengan baik? Bagaimana caranya agar bisa berkelanjutan? Berikut adalah proses bisnis yang telah bteruji dan dilakukan Grameen di Bangladesh:
Penyeleksian, Cara Berlangganan dan Pelatihan Operator:

Untuk mendapatkan informasi mengenai cakupan GSM GrameenPhone Ltd., pegawai unit GTC menemui cabang- cabang Grameen bank pada daerah dan menyiapkan data dari desa-desa dimana cakupan jaringan memuaskan yang memungkinkan penyediaan Telepon Desa (Village Phone). Cabang GB kemudiaan memilih diantara anggota-anggotanya yang berkinerja baik dari desa- desa ini untuk bertindak sebagai Operator “Village Phone”. Grameen Bank mempunyai kriteria spesifik untuk menyeleksi operator “Village Phone” yang dapat diringkas sebagai berikut:
  1. Mempunyai sejarah pembayaran kredit Grameen Bank yang sangat bagus;
  2. Harus mempunyai bisnis yang bagus, lebih disukai toko penjualan makanan/minuman di desa dan mempunyai waktu luang untuk berfungsi sebagai operator “Village Phone”.
  3. Tidak buta huruf atau paling tidak harus mempunyai anak yang dapat membaca dana menulis.
  4. Tempat tinggalnya harus cocok dan lokasinya dekat dengan tengah-tengah desa. 
Setelah penyeleksian awal selesai oleh Cabang GB sebagai operator “Village Phone” yang potensial, pegawai unit GTC terdekat memverifikasikan sinyal yang tersedia pada rumahnya atau toko yang dia tinggali untuk berlangganan telepon. Persetujuan terakhir dari keanggotaan diperoleh dari Manager Daerah atau Area GB. Ketika penyeleksian akhir hampir selesai, GTC berlangganan sambungan telepon pada Grameen Phone dan menyerahkannya pengelolaanya kepada anggota. GTC selanjutnya menyediakan perangkat yang dibutuhkan dan menyediakan pelatihan untuk mengoperasikan telepon desa tersebut. Sedangkan telepon dan biaya sambungan dibayar oleh GB ke GTC serta anggota mengangsurnya kembali kepada GB dengan periode yang ditentukan dua atau tiga tahun. Perlu dtekankan kembali bahwa program keemilikan telepon desa/bergerak ini hanya disediakan untuk anggota  GB melalui program pinjaman mikro.
Proses Penagihan (Billing):
Grameen Telecom membeli pusa secara borongan dari Grameen Phone untuk semua telepon desa di bawah pengoprasiannya dengan tingkat diskon khusus yang telah dinegoisasikan antara kedua organisasi. Kemudian Grameen Phone menyiapkan tagihan bulanan dan mengirimkannya ke GTC untuk pembayaran. Selanjutnya GTC membuat kembali tagihan perorangan dan mengirimkannya ke cabang-cabang serta membayar tagihan ke Grameen Telecom setelah enam minggu pada periode berikutnya. Dalam hal ini tugas Grameen Bank adalah mengumpulkan tagihan dari operator-operator “Village Phone”.
Dukungan Operasional: 

Kantor unit dari Grameen Telecom bertanggung jawab untuk pengoperasian “Village Phone” di lapangan. Tugas Unit Operasional adalah untuk memetakan daerah dengan cakupan sinyal yang baik, membantu manager cabang GB untuk memilih anggota menjadi operator “Village Phone”, melatih operator “Village Phone” dan membutuhkan dukungan teknis yang dibutuhkan oleh operator “Village Phone” termasuk handset, tagihan dan lain sebagainya.  Sejauh ini Grameen Telecom mempunyai 13 kantor unit di : Dhaka, Norsingdee, Srinogar, Comilla , Feni, Chittagong, Mymensingh, Sirajgonj, Khulna, Barisal, Sylhet, Rajshahi dan Faridpur. Jumlah kantor unit akan terus bertambah dengan bertambahnya area sinyal yang tersedia. 

Related articles, courtesy of Zemanta:

 [slideshare id=2810571&doc=grameen-telecom-stakeholderthesis-summary-091231220954-phpapp02&type=d]

Monday, August 27, 2012

#Mudik #IedulFitri: Antara Kejayaan dan Keruntuhan Sepeda Motor Serta Kemenangan Umat Manusia

Selesai sudah "Upacara Rutin" setahun sekali dimana para pemudik bertemu sanak keluarga di tempat kelahiran untuk merayakan Iedul Fitri. Mereka berbondong-bondong melakukan "hijrah" untuk bersilaturahmi dan berbagi kebahagiaan yang dirindukan dengan menggunakan berbagai moda transportasi baik darat, laut maupun udara.

Yang menarik banyak diantara mereka menggunakan sepeda motor untuk mudik bersama keluarga. Alasannnya bermacam-macam, mulai dari penghematan, prestise, "kenyamanan" bahkan alasan lain yang klise. Menurut data, Pengguna sepeda motor dalam mudik lebaran tahun ini meningkat sebesar 20 persen hingga 25 persen atau sekitar 10-15 persen diatas prediksi pemerintah yang hanya sekitar 6,16 persen dari tahun lalu. Meningkatnya penggunaan sepeda motor pada waktu musim mudik lebaran akan mempengaruhi meningkatnya angka kecelakaan di jalan raya. 

 Meskipun dalam beberapa tahun terakhir masih terdapat kecelakaan fatal yang dialami angkutan umum, namun penggunan angkutan umum masih tergolong cukup aman dibandingkan dengan sepeda motor. Penggunaan sepeda motor pada waktu musim mudik lebaran memiliki presentasi 70 persen dari seluruh kecelakaan yang terjadi.   

Fenomena di lapangan yang penulis alami adalah banyak dari pengendara sepeda motor karena alasan ingin cepat sampai, mengorbankan keamanan dan kenyamanan diri dan keluarganya. Mereka seperti "sengaja memperdagangkan" keluarga mereka agar dimengerti oleh pengguna jalan lain untuk diberikan "keutamaan" di jalan.
Tidak jarang mereka melakukan manuver berbahaya dengan meliuk-liuk diantara sesama sepeda motor dan kendaraan lain. Sering juga membuat "Racing Line" seperti Rossi, Lorenzo atau Pedroza di Sirkuit MotoGP tanpa memperdulikan rambu lalu lintas dan kode etik berkendara. 
Tidak heran Semangat Kemenangan Umat Manusia berubah menjadi Kejayaan dan Keruntuhan (Rise and Fall) dari Sepeda Motor pada saat mudik tahun ini. Dikuti dari TEMPO.CO, Jakarta - Setiap tahun menjelang Lebaran, selalu bertambah jumlah pemudik yang mengalami kecelakaan. Hingga H+2 Hari Raya Idul Fitri, polisi mencatat sebagian besar korban tewas akibat kecelakaan adalah pengguna sepeda motor. Jumlahnya sebanyak 75,5 persen atau 518 orang adalah pengguna sepeda motor. 

Adapun total korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas selama penyelengaraan Operasi Ketupat sejak 11 Agustus mencapai 686 jiwa, naik dari tahun lalu, sebanyak 622 nyawa melayang. Jumlah kecelakaan ini mengalami kenaikan dibanding tahun lalu, yakni 3.927 kecelakaan di tahun ini dibanding tahun lalu 3.777 kecelakaan. 

"Kebanyakan penyebabnya adalah human error, seperti melanggar batas kecepatan, melanggar rambu-rambu, dan tidak disiplin dalam berlalu-lintas," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat, Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 23 Agustus 2012. 

Data kepolisian pun menunjukkan bahwa sebagian besar kecelakaan lalu lintas atau 69,5 persennya melibatkan sepeda motor. Adapun total kendaraan yang terlibat kecelakaan berjumlah 6.695 kendaraan. 

Selain menyebabkan lebih dari 600 orang tewas, kecelakaan lalu lintas selama Operasi Ketupat pun menyebabkan 1.093 orang luka berat dan 3.750 lainnya luka ringan. 

 

Monday, August 13, 2012

Poligami @Dikdoang & @Aagym: Antara Distorsi Informasi, "Devide et Impera" dan "Covert Operation"

Dik Doang

Seperti diberitakan TEMPO.CO, Jakarta - Kabar pernikahan kedua Dik Doank mencuri perhatian media hiburan akhir-akhir ini. Bekas presenter itu memutuskan untuk menikah lagi dengan perempuan bernama Khaerani alias Key. Meskipun sampai saat ini Dik Doank belum mau berkomentar, pernikahan tersebut diketahui berlangsung pada hari Sabtu, 7 Juli 2012 lalu. Saat itu tak begitu banyak yang menyaksikan pernikahannya.

"Dari pihak perempuan sekitar tujuh orang," kata Naim yang bertindak sebagai saksi pernikahan saat ditemui di Desa Sawah Lama, Jurang Mangu, Ciputat, Tangerang, Selasa, 7 Agustus 2012. Adapun dari pihak Dik Doank, yang hadir hanya Ketua RT dan staf desa. Naim menambahkan, pernikahan tersebut sudah mendapat izin dari isteri pertama Dik Doank, Mirna Yuanita. 

Semua dokumen yang dibutuhkan juga sudah tertera dalam surat yang dibawa salah seorang staf desa. "Katanya sudah ada ijin dari istrinya," ujarnya. Pria dengan nama lengkap Raden Rizki Mulyawan Kertanegara Hayang Denada Kusuma ini menikah dengan Mirna pada tahun 1993. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai tiga anak. 

Aa Gym

Dikutip dari Kompas.com, seperti diberitakan sebelumnya, Aa Gym kembali menikahi Teh Ninih, setelah Juni 2011 PA Bandung menjatuhkan talak satu Roj'i kepada Teh Ninih menyusul permohonan cerai Aa Gym pada Maret 2011.  Dengan adanya pernikahan kembali Aa Gym dan Teh Ninih tentu saja membuat posisi istri-istri Aa Gym menjadi berubah. Alfarini Eridani atau yang dikenal dengan nama Teh Rini, perempuan yang dinikahi Aa Gym pada tahun 2006, kini memiliki madu Teh Ninih yang dulu menjadi istri tua Aa Gym.  

Dalam sebuah kesempatan, Aa Gym mengatakan bahwa keputusannya untuk menikah Teh Ninih didukung oleh Teh Rini. Sama seperti saat berpoligami di tahun 2006, Aa Gym juga mengaku didukung oleh Teh Ninih.  

Lantas apa komentar Teh Rini? Ditemui usai sidang mendampingi Aa Gym, Kamis (19/4/2012), Teh Rini mengaku siap menerima Teh Ninih dalam kehidupan rumah tangganya. Begitu pula dengan kiai kondang tersebut.

Sayangnya, Teh Ninih tak bisa menghadiri sidang. Menurut Aa Gym, wanita yang telah memberikannya tujuh anak itu tak bisa hadir karena sedang ceramah. "Sedang ceramah (dakwah) dulu," ujarnya.

Dalam sidang yang berlangsung singkat itu, dua saksi dihadirkan. Mereka adalah Dudung Abdul Ghani, adik kandung Teh Ninih dan Hari Sukoyo, asisten dari Aa Gym. Sidang berlangsung lancar dan cepat. Setelah sebelumnya sidang sempat ditunda karena ketidakhadiran Aa Gym, pada Senin (16/4/2012) kemarin.

Baik Aa Gym dan Teh Rini juga tak banyak berbicara. Mereka hanya memohon doa bahwa kembalinya Aa Gym ke pelukan Teh Ninih merupakan bagian dari dakwah dan kebaikan bagi semua.


 

Distorsi Informasi, "Devide et Impera" dan "Covert Operation"

Dikutip dari Tabloid Bintang, Dik Doank mengaku menerima ancaman dari seseorang. Kandank Jurank Doank miliknya diancam akan "dihancurkan", seperti pondok pesantren Daarut Tauhid milik KH. Abdullah Gymnasyiar atau Aa Gym.

Seperti diketahui, Daarut Tauhid mengalami kemerosotan usai Aa Gym berpoligami. Jumlah Ibu-ibu pengajian yang biasa berwisata ke sana jauh berkurang. Roda perekonomian di lingkungan pesantren pun nyaris mati, banyak usaha gulung tikar, dan ratusan orang kehilangan lapangan pekerjaan. Ketika itu, popularitas Aa Gym sebagai penceramah juga jauh menurun. Jamaah yang biasa membludak di setiap lokasi ceramahnya, berkurang hingga lebih dari separuh. 

Bagi Dik, orang yang membenci Aa Gym adalah orang-orang yang dibenci oleh Allah. "Berapa banyak orang yang membenci Aa (Aa Gym). Orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (mengutip salah satu ayah dalam Alquran," kata Dik, di hadapan siswa dan guru Madrasah Pembangunan, di Kandank Jurank Doank, Ciputat, Tangerang, Kamis (9/8) malam. Bapak tiga anak itu tetap berkeyakinan, poligami adalah hal yang dimuliakan Allah ketimbang berzina.

 

Dalam beberapa literatur memang disebutkan bahwa Poligami adalah salah satu "Top of Minds" yang laku di pasaran "Distorsi Informasi". Salah satunya dibahas pada Disertasi James B Hoesterey yang dimuat di Jurnal Udini (Proquest) berjudul "Sufis and self-help gurus: Islamic psychology, religious authority, and Muslim subjectivity in contemporary Indonesia". Dapat dikutip abstraknya sebagai berikut:

In this dissertation, I explore the rise and fall of a celebrity preacher and his Islamic self-help program of Manajemen Qolbu (Heart Management). In 2005 Abdullah Gymnastiar was Indonesia's most popular television preacher, emblematic of a recent generation of preachers throughout the Muslim world who, despite their lack of formal religious education, attract widespread followings through their savvy use of media technologies and their simple lessons for applying Islamic teachings in daily life. Gymnastiar was known across the Indonesian archipelago as a shrewd entrepreneur, doting husband, and virtuous family man. Millions of Indonesians watched his television shows, read his self-help books, and joined his Manajemen Qolbu training seminars. Then, in late 2006, a celebrity scandal erupted and Gymnastiar's self-help empire crumbled. Drawing from nearly two years of ethnographic fieldwork at Gymnastiar's Islamic school, Daarut Tauhiid (2005-2007), this work contributes to the emerging anthropological literature on psychological sciences and also to interdisciplinary studies of contemporary Islam and Muslim subjectivity. I explore how the self-help industry in contemporary Indonesia--which blends globalized pop psychologies and self-actualization literatures with Sufi discourses of the self--generates new forms of religious knowledge and authority, commoditizes preacher-disciple relationships, and offers practical guides for Muslims to articulate their religion and to lead pious lives. I also describe how Gymnastiar--and an emerging generation of Muslim "trainers"--summon, articulate, and mobilize Islamic self-help within the broader moral and political debates of the national public sphere. I argue that Gymnastiar legitimates his claim to religious authority through his ability to market himself as the embodiment of Islamic virtue and to transform transnational self-help psychology into religious knowledge. However, as Gymnastiar's dramatic fall from public grace makes abundantly clear, the religious authority of pop preachers is subject to different affective and economic exchange relationships than the kind of authority enjoyed by more conventional clerics. By investigating how psychology "travels" and is reconfigured in new contexts, I bring discussions about the social life of psychology to bear on interdisciplinary conversations about religious authority and the cultural politics of public piety.

Selain itu ada Jurnal Brown University berjudul "Polygamy Talk and the Politics of Feminism: Contestations over Masculinity in a New Muslim Indonesia" yang disusun Sonja van Wichelen dengan ulasan sbb:

 

The  political downfall of the Suharto administration in 1998 marked the end of the “New Order”, which was characterized by a 32-year period of authoritarian rule. Opening the way for democracy, it included the unlocking of Indonesian politics for the influence and participation of political Islam, which the New Order discouraged or banned. This shift led to a proliferation of Islamic issues in the public and political sphere. Many of them concerned issues of gender and have triggered profound debates about women’s rights and gender equality. This article examines one of these public concerns over “Islam and gender”, namely polygamy. It assesses how the issue of polygamy is debated in post-authoritarian Indonesia and scrutinizes the ways in which women’s groups,  organizations, and different forms of feminism have played an active role in these debates. As my analysis will demonstrate, the contestations between the different women’s groups show a far more multifaceted picture of “polygamy talk” which cannot solely be reduced to issues of Islam and gender. Rather, the case study showed that their perspectives intersected with identity politics informed by postcoloniality, modernity, religion, nationality, and globalization. It is through these specters that this article aims to understand the complexity of a transiting Indonesia greatly affected by processes of Islamization and democratization.

 

Masih banyak lagi "perdebatan menarik" dan akan menaikkan rating media perihal poligami ini dengan menambahkan Peran Utama, Peran Pembantu, "Stunt Man/Woman" bahkan "Cheer Leader" dalam drama sinetron "Devide et Impera" ini. Diantaranya dimuat di Jurnal Universitas Colorado yang berjudul "FIGURES OF INDONESIAN MODERNITY". Dari jurnal tersebut, ada pernyataan yang menohok sbb:

 

“This is not real Islam. It’s about the economy, stupid,” one Indonesian intellectual remarked when I asked his opinion about Aa Gym and Manajemen Qolbu. I admired the witty turn of phrase and understand when academics chuckle at the smoke and mirrors of Islamic television and the self-help slogans of Aa Gym; yet our amusement alone does nothing to explain why Indonesians are watching tele-dai programs, buying their books, and paying for their text messages.

.............

 

Those awestruck “spiritual tourists” at Daarut Tauhiid did not have a relationship with Gymnastiar; they had a relationship with the idea—the brand narrative—of Aa Gym as the perfect and financially successful husband of a happy family. When Gymnastiar took a second wife in 2006, the brand narrative collapsed, former admirers were furious, and his business empire crumbled.  As the story of the rise and fall of Aa Gym suggests, brand narratives mediate the affective and economic relationships between preacher–producers and consumer–disciples. Within the marketized preacher–disciple relationship, devotees play an important role in shaping the public meanings and economic value of religious brands. The economic viability and religious authority of  tele-dai depend, in part, on the consumption of (or refusal to consume) these meta-narratives about popular preachers who market themselves as the embodiment of “modern” Islam. The phenomenon of  tele-dai certainly is about the economy, but it is also about a very real, lived Islam.

 

 

Terakhir mungkin menarik ulasan yang dimuat oleh Majalah Time 4 November 2002 perihal Aa Gym yang mungkin menjadi alasan perlunya "Covert Operation" karena pengaruhnyang besar di Indonesia sbb:

Achieving that goal will tax even Aa Gym's powers of persuasion. The nation faces a crippling list of woes: bloody ethnic and religious violence, economic sclerosis, inept politicians, corrupt police and military, a looming environmental apocalypse. Add to that the devastating impact of the detonations in Bali on Oct. 12 that killed nearly 200. Whoever turns out to be responsible, it is easier now than ever to view Indonesia as a place where Islamic militants and terrorist groups like Jemaah Islamiah have a free hand.

But despite the grim death toll in Bali and the government's inability to contain violence, the reality remains that militant views are held by a tiny minority of Indonesians. The tolerant, middle-of-the-road religion espoused by groups such as Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama, which between them have a membership of some 70 million, is the true face of Islam. That may be another reason so many turn for reassurance to the charismatic Aa Gym, proudly positioned at the forefront of the moderate majority. He is a thoroughly modern Muslim. He advocates a 21st century religion that complements and enhances the benefits of technology. "Aa Gym has become big because he teaches a very human side of Islam and practices what he preaches," says Juniwati Masjchun Sofwan, a member of the influential Council of Indonesian Ulemas. "He is concerned about advancing Muslims economically through modern-day practices of business and religion." Indeed, Aa Gym preaches prosperity to his followers. "You must remember, the Prophet Muhammad, blessed be his name, was a businessman himself," he says, "and a very good one, too."

To many Indonesians, Aa Gym's rising prominence makes it almost inevitable that he will take on a greater role in the public life of the country. That in turn would mean stepping down from his pulpit and dirtying his hands in politics, something the preacher has so far shown a deep reluctance to do. An advocate of tolerance and forgiveness, Aa Gym is one of the only Muslim leaders in Indonesia to have publicly spoken at a Christian church. In late September, he attended a reconciliation ceremony held near Poso in Central Sulawesi, where thousands have died in recent years in clashes between Christians and Muslims. He has broad appeal, too. Considering his military background his father was an army lieutenant colonel, and he himself served as a student military leader political analysts say Aa Gym could lock up two of the most critical voting blocs in Indonesia, the Muslim majority and the army.

Then there's the X factor, the personal magnetism that has drawn hordes of acolytes, from secretaries to corporate bigwigs. "I don't just listen to him," says Lieut. Colonel Ahmad Saefudin, who leads an army cavalry division in Bandung. "I follow him." Chairul Tanjung, chairman of Bank Mega, one of the country's 10 largest banks, puts it differently, but the enthusiasm is the same: "Our generation has few people like him. The country needs someone who can help reduce the gap between business and morality."

Sitting on the floor of the veranda attached to his family's modest living quarters, Aa Gym waves a hand to dismiss the notion he is bound for office. "To play politics never entered my mind," he says. "There are plenty of people in politics already. I want to imitate the Prophet. He said that the best a man can be is to be of benefit to others." Yet for all his disdain of "playing politics," Aa Gym allows that circumstances could change. On other occasions, he's talked vaguely about his "target" of 2009, a presidential election year. "Anything could happen tomorrow," he says.

Nor does Aa Gym pretend that he doesn't already wield serious clout. "I could push 100,000 people from the Istiqlal Mosque in Jakarta (where he preaches once a month) to the U.S. embassy. It would take 10 minutes to walk, and it would be very difficult for the police to stop them. With God's will I could use that power. But I won't. My program is for Indonesians to control themselves, to not be emotional. If we are emotional we have problems."

But surely it must be tempting to exercise that power, particularly at a moment of such national peril? No, says Aa Gym, at least not now. To prove his point, he tells of a recent visit from a powerful government figure from Jakarta. "They know that I have many people behind me, and he asked if I wanted to take power, do a revolution. But I said, 'Look at my eyes. Do I look like someone who would do such a thing? I will never do anything bad to anyone.'"

In fact, a glance into Aa Gym's mahogany eyes shining behind steel-framed glasses reveals his lively intelligence, but less of what might motivate the man. Already he displays a politician's wariness about exactly what to reveal to his public. If he's not yet a pol, he's already a consummate showman. The talent was developed early. Born the first of four children, he took a variety of jobs from selling newspapers to driving a minibus to support himself before and after his years as an electrical-engineering student and a fledgling entrepreneur. But according to Ahmad Soliekhin, one of Aa Gym's closest aides and a former conductor on his minibus, it was their experience together as itinerant buskers that brought them the most success. "We used to get called back to the rich people's houses the next day for a repeat performance," says Ahmad, smiling broadly at the memory. "Aa Gym sang and they liked it very much."

The lessons learned from those early performances were reinforced by his success as a university debater. To this day, Aa Gym displays a professionalism in his public appearances that must be the envy of many of Indonesia's current crop of less-than-media-savvy rulers. Watch Aa Gym as he tapes his minisermons in the small television studio run by one of his 15 companies. Hopping onto a motor scooter his preferred ride is a hulking black Kawasaki Eliminator, which remains under its dust cover on this day Aa Gym putters slowly through his little empire, a patch of about one square kilometer in Bandung that houses his myriad enterprises: the radio station; the website offices; the publisher that puts out his 32 books and dozens of cassettes and VCDs; the cooperative supermarket; the mosque, with its attendant school for 500; a rest house for the numerous visitors and for management-training seminars; two orphanages, one of which is located in a house he was originally going to move into himself but decided was "too fancy," according to aide Budi Hartono. Budi adds similar tales of expensive cars that his mentor bought, drove for a while, then rejected as overly opulent. "He prefers a van," Budi insists. "It is more practical."

During a ride to the studio, Aa Gym is all smiles and jokes, waving and greeting almost everyone. The mood persists after he enters the building and sits down at a desk where he is to tape several of his minisermons. Aa Gym makes faces at himself in the monitor and clowns with the makeup brush. "You see how I do everything I can myself," he says, "even putting on makeup so that I don't need to bother other people." But when taping starts, Aa Gym snaps into performance mode. His voice drops an octave, his face changing in a second from a broad smile to the serious, concerned demeanor of a wise uncle giving guidance to his favorite nephews and nieces. The topics could be taken from a Reader's Digest article: "The Greatest Failure is Never Trying," "Forgive and Forget," "The Importance of Politeness," "Don't Be Envious of Success."

With a notebook computer open on the desk in front of him, Aa Gym hardly pauses for breath as he tapes 13 sleek homilies in a row, all exactly timed to 11/2 minutes with the help of an aide crouching in front of his desk with a stopwatch. "I could make 40 or 60 in a row if I had to," he says, squatting to pose with the children of two families of admirers who have traveled from distant Sulawesi to catch a glimpse of him. "It's easy for me to give those speeches because I do those things every day. You have to do what you say."

The bravura performance is at the core of the man's mystery. Is he just "the Britney Spears of Islam," as he is characterized by Ulil Abshar-Abdalla, head of Indonesia's Liberal Islam Network? Is he merely a feel-good merchant who uses religion for his commercial ends? Or is Solahuddin Wahid, vice chairman of the 40 million-member Nahdlatul Ulama, right when he says that Aa Gym's "sincerity is his strength. He's creating a society based on his words and deeds."?

It is a sharp divide, and one that Aa Gym and his aides are uncomfortably aware of. Although the preacher clearly enjoys the toys he can now afford the publishing business alone brings in $130,000 a month, aides say Aa Gym insists that his flying lessons, the $2,000 DVD player installed in one of his cars and, yes, even the glistening Kawasaki Eliminator are simply utilitarian. "I have enough money to buy anything I want, that Lexus for example," he says, pointing to a black model with smoked-glass windows. "But I don't. The van is more practical. All my technology is state of the art because I need to be efficient. I don't indulge in buying it for fun but for necessity."

A few days earlier, Aa Gym declared that "Indonesian leaders fall because they wear masks to hide weaknesses in their characters." His goal, he says, is "to build their characters and prepare a generation of professional Muslims." It's a noble goal. At a watershed moment in the history of a troubled nation, Indonesia can ill-afford another leader who hides behind a mask.

Wallahu Alam Bissawab.......

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui."

(Al-Baqarah : 216)

Ditutup doa:

اَللَّهُمَّ إِنِّى أُعُوذُبِكَ مِنْ عِلْمٍِ لاَيَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍِ لاَيَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍِ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍِ لاَ يُسْتَچَابُ لَهَا

Allahumma inni a’udzubika min ‘ilman laa yanfa’ wa min qolbi laa yakhsya’ wa min nafsi laa tasyba’ wa min da’wati laa yustajaabulaha

 
”Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari Ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan”

(HR. Muslim: 2722)

Monday, August 6, 2012

Pluralisme: Memilah Antara Tenaga Eksogen dan Endogen

Pluralisme Agama Yang Ambigu

Dari  ensiklopedia bebas Wikipedia bahasa Indonesia,Pluralisme (bahasa Inggris: pluralism), terdiri dari dua kata plural (=beragam) dan isme (=paham) yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham, Untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu. Berdasarkan Webster's Revised Unabridged Dictionary (1913 + 1828) arti pluralism adalah:
  1. Hasil atau keadaan menjadi plural.
  2. Keadaan seorang pluralis; memiliki lebih dari satu tentang keyakinan gerejawi.

Pluralisme  Agama  (Religious  Pluralism)  adalah  istilah  khusus  dalam  kajian agama­ agama. Sebagai  ‘terminologi  khusus’,  istilah  ini tidak  dapat  dimaknai sembarangan,  misalnya  disamakan  dengan  makna  istilah  ‘toleransi’,  ‘saling menghormati’  (mutual  respect), dan  sebagainya.  Sebagai  satu  paham  (isme),  yang membahas  cara  pandang  terhadap  agama­agama  yang  ada,  istilah ‘Pluralisme  Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan dalam studi agama­ agama (religious studies)

Gambar dipinjam dari http://kucintaquran.blogspot.com/2012/06/pluralisme-agama-trend-pemikiran-semua.html

Pandangan Islam Terhadap Pluralisme

Pluralisme sebagai paham religius artifisial yang berkembang di Indonesia, mengalami perubahan ke bentuk lain dari asimilasi yang semula menyerap istilah pluralism.

Menurut asal katanya Pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism. Apabila merujuk dari wikipedia bahasa inggris, maka definisi [eng]pluralism adalah : "In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation." Atau dalam bahasa Indonesia : "Suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran / pembiasan)."

Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sehingga memiliki arti :

  1. pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural
  2. pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama
  3. pluralisme digunakan sebagai alasan untuk mengubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan ajaran agama lain

Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di indonesia tidaklah sama dengan pluralism sebagaimana pengertian dalam bahasa Inggris. Dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.

Pertentangan yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa. Sebagaimana seorang mengucapkan pluralism dalam arti non asimilasi akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme dalam arti asimilasi. Sudah semestinya muncul pelurusan pendapat agar tidak timbul kerancuan.

Dikutip dari Wikipedia Indonesia, Paham Sekularisme, Pluralisme (Agama) dan Liberalisme bertentangan dengan Islam  dan haram bagi umat Islam untuk memeluknya. (Fatwa MUI, 2005). Ummat Islam di Indonesia sepakat dengan memberi fatwa paham Pluralisme agama adalah haram.

Perumpamaan Tenaga Eksogen dan Endogen Pada Pluralisme

Tenaga eksogen Pluralisme yaitu tenaga yang berasal dari luar Islam. Sifat umum tenaga eksogen adalah merombak atau merusak "bentuk permukaan" Akhlak hasil bentukan dari tenaga endogen Akidah dan Syariah Islam. "Bukit atau tebing" ketakwaan yang terbentuk hasil tenaga endogen terkikis oleh angin Pluralisme, sehingga dapat mengubah "bentuk permukaan" akhlak Islam.

Contoh lain dari tenaga eksogen Pluralisme adalah pengikisan "pantai" Akidah. Setiap saat "air laut" Pluralisme menerjang "pantai" Akidah yang akibatnya tanah dan batuannya terkikis dan terbawa oleh air. Tanah dan batuan yang dibawa "air" Pluralisme tersebut kemudian diendapkan dan menyebabkan "pantai" Akidah menjadi dangkal. Di daerah "pegunungan" Islam bisa juga ditemukan sebuah bukit batu "Syariah" yang kian hari semakin kecil akibat tiupan angin "Pluralisme".

 

Sunday, August 5, 2012

#ManajemenPembebas Kode Etik dan Mandat Perusahaan: Seninya Menyatukan "Air & Minyak"

Etika Bisnis Perusahaan

Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat.

Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.

Etika Bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh karyawan termasuk manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan dan sikap yang profesional.

Mandat Perusahaan

Dengan melakukan kajian terhadap korporasi sebagai institusi ekononi dan berbadan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Peter F. Drucker,  mengajukan premis sebagai berikut: 

  1. Mandat korporasi yang terdefinisi secara sah adalah untuk memperoleh manfaat ekonomi secara terus menerus, tanpa memedulikan konsekuensi yang merugikan bagi pihak lain; 
  2. Kepentingan-diri korporasi yang tidak terkendalikan dapat mengorbankan individu, masyarakat, dan ketika event yang terjadi tidak sesuai dengan yang direncanakan dapat merugikan pemegang saham, dan lebih jauh merubuhkan diri sendiri; 
  3. Meskipun tanggung jawab sosial korporasi dalam beberapa hal berjalan dengan baik, ia seringkali hanya dilakukan sebagai topeng menutupi karakter korporasi yang sebenarnya; 
  4. Secara tidak langsung pemerintah menyerahkan sebagian besar kekuasaan pengendalian terhadap korporasi, walaupun mengetahui karakter buruk korporasi, dengan membebaskannya dari hambatan hukum melalui deregulasi, dan dengan memberikan otoritas yang lebih tinggi dari masyarakat melalui privatisasi. 

Film dari buku “The Corporation: The Pathological Pursuit of Profit and Power” karangan Joel Bakan menyatakan bahwa korporasi diciptakan oleh hukum untuk berfungsi seperti psychopat yang berperilaku merusak, dan bila tidak dikendalikan menjurus kepada skandal dan kehancuran. Bakan percaya bahwa perubahan terhadap kondisi tersebut dimungkinkan. Untuk itu dalam bukunya Bakan memberikan sebuah program reformasi jangka panjang yang kongkret, pragmatis, realistik melalui regulasi hukum serta kendali demokrasi (democratic control). 

[slideshare id=13875110&doc=lecture-ethicsandsocialresponsibility-mm-exec-120804223538-phpapp01]

Wednesday, August 1, 2012

Persatuan Umat: Suri Tauladan Buya Hamka dan KH Idham Chalid

 
Di bulan Ramadhan ini kita merasakan betapa pentingnya Persatuan Umat dalam melaksanakan kehidupan bergama Islam. Salah satu contoh adalah dimulai dan diakhirinya waktu Bulan Ramadhan yang masih menjai perdebata di antara kita. Banyak Tokoh Cendikiawan dan Umat Muslim masih belum bisa menafsirkan Persatuan Umat secara hakiki seperti yang digambarkan oleh kisah atau suri tauladan sebagai berikut:
Seperti kita tahu Buya Hamka ( Haji Abdul Malik Karim Amrullah ) adalah seorang Ulama yg disegani, tinggi ilmu agama & sastranya, banyak jabatan beliau diantaranya pernah menjadi Ketua MUI & Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
 
Begitu pula K.H Idham Khalid, alm adalah Ulama yg bijaksana, tinggi ilmunya, banyak pula jabatannya selain menjadi ketua MPR beliau adalah Ketua Umum Nahdatul Ulama ( NU ).
 
Pada suatu waktu kedua Ulama ini memimpin rombongan untuk beribadah Haji, saat itu dari Indonesia untuk beribadah Haji ke Mekkah / Baitullah masih menggunakan kapal laut, dan waktu tempuh untuk sampai di Mekkah memerlukan waktu cukup lama, ber minggu2.
 
Saat itu di kapal laut Buya Hamka memimpin ratusan rombongan calon Haji dari para Anggota Muhammadiyah, sedang K.H Idham Khalid juga memimpin ratusan jamaah calon Haji para Nahdiyyin.
 
Secara bergantian kedua ulama besar ini menjadi Imam Sholat Fardhu di kapal laut, dan ketika menjadi Imam sholat Shubuh, Buya Hamka yg ketua Pusat Muhammadiyah memimpin membaca Qunut di rakaat ke 2 sholat Shubuh, padahal dalam ajaran Muhammadiyah membaca qunut itu tidak dijalankan, namun karena Buya Hamka tahu bahwa para makmunnya tidak hanya dari anggota Muhammadiyah, tapi banyak juga para Nahdiyyin, maka beliau membaca qunut.
 
Demikian juga ketika K.H Idham Khalid yg menjadi Imam Sholat Shubuh, saat itu beliau tidak memimpin membaca qunut, karena mahfum para jamaahnya banyak dari anggota Muhammadiyah yg menjadi makmum, padahal para Nahdiyyin selalu membaca qunut dalam sholat Shubuh nya.
 
Demikian teladan dari 2 orang Ulama besar ini, masalah qunut adalah masalah khilafiah sedang menjaga persatuan & kesatuan umat Islam hukumnya adalah wajib dan lebih utama. Subhanallah.
Profil Buya Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yakni singkatan namanya, (lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik.Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid'ah, tarekat, dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.Disamping Front PertahananNasional yang sudah ada didirikan pula Badan Pengawal Negeri & kota (BPNK). Pimpinan tersebut diberi nama Sekretariat yang terdiri dari lima orang yaitu HAMKA, Chatib Sulaeman, Udin, Rasuna Said dan Karim Halim. Ia menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pemilihan Umum tahun 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960.
Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia, dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan internasional seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.
Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan saja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
Profil KH. Idham Chalid

Idham Chalid (lahir di Satui, Hindia Belanda, 27 Agustus 1921 – meninggal di Jakarta, 11 Juli 2010 pada umur 88 tahun) adalah salah satu politikus dan menteri Indonesia yang berpengaruh pada masanya. Selain sebagai politikus ia aktif dalam kegiatan keagamaan dan beliau pernah menjabat Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama pada tahun 1956-1984.
Sejak berkiprah dari remaja, karier Idham di PBNU terus menanjak. Ketika NU masih bergabung dengan Masyumi (1950), ia menjadi ketua umum Partai Bulan Bintang Kalimantan Selatan. Sementara itu, ia juga menjadi anggota DPR RIS (1949-1950). Dua tahun kemudian, Idham terpilih menjadi ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif NU (1952-1956). Kemudian, ia dipilih menjadi orang nomor satu NU pada 1956. Bahkan, Idham merupakan orang terlama yang menjadi ketua umum PBNU.
Boleh dikata, selama hampir 30 tahun sebagai orang nomor satu NU, Idham telah mengalami berbagai pasang surut. Di bidang eksekutif, ia beberapa kali jadi menteri, baik saat masa Orde Lama maupun Orde Baru. Ketika Bung Karno jatuh pada 1966, ia menjadi anggota presidium Kabinet Ampera I dan Kabinet Ampera II dan etelah itu ia diangkat menjadi ketua MPR/DPR pada periode 1971-1977. Jauh sebelumnya, pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II, ia juga menjabat sebagai wakil PM. Dalam posisi pemerintahan, beliau pernah juga mengemban tugas sebagai Ketua DPA.