Showing posts with label Global. Show all posts
Showing posts with label Global. Show all posts

Thursday, August 25, 2011

Liputan Inilah.com: Pesantren IT Arahkan Pengajar Jadi Pendidik

Pesantren IT Arahkan Pengajar Jadi Pendidik

Kegiatan Pesantren IT yang digagas Comlabs ITB mengajarkan supaya seorang guru tidak hanya menjadi seorang pengajar, namun sebagai pendidik. - inilah.com/Ageng Rustandi
Oleh: Ageng Rustandi
Jabar - Rabu, 24 Agustus 2011 | 22:20 WIB

INILAH.COM, Bandung - Kegiatan Pesantren IT yang digagas Comlabs ITB bersama dengan Pojok Pendidikan mengajarkan supaya seorang guru tidak hanya menjadi seorang pengajar, namun mengarahkan seorang guru sebagai pendidik.

“Dengan hanya berpikir sebagai seorang pengajar, guru hanya memberikan materi ajar di depan kelas tanpa mampu mentrasfer nilai-nilai pokok dari sebuah pendidikan. Dan kami di sini mencoba untuk membuka wawasan guru tentang hal tersebut, tidak hanya mengajar tapi juga berperan sebagai pendidik,” ungkap Senior Advisor ComLabs ITB & Pojok Pendidikan Djadja Sardjana kepada INILAH.COM di sela-sela pelaksanaan Pesantren IT di Gedung ComLabs ITB, Jalan Ganeca Kota Bandung, Rabu (24/8/2011).

Peran seorang guru, lanjutnya, tidak hanya bertindak sebagai seseorang yang melakukan transfer ilmu kepada muridnya. Guru harus berperan sebagai benteng dari serangan-serangan pengaruh buruk bagi muridnyam baik pengaruh dari dalam maupun luar lingkungannya.

“Untuk itu, salah satu materi yang diberikan adalah filosofi dan psikologis pembelajaran. Dengan ini diharapkan seorang guru atau dosen mampu mencintai profesinya tersebut dengan utuh. Karena guru merupakan profesi yang harus menjadi tuntutan dan contoh bagi muridnya,” tambahnya.

Selain itu, untuk membekali guru dalam pembelajaran, diberikan juga materi tentang aplikasi information technology(IT) dalam materi pembelajaran. Dengan tuntutan zaman yang semakin mengarah pada IT, guru dituntut mampu mengembangkan media pembelajaran sesuai dengan tuntutan zaman.

“Terkait IT ini memang sudah cukup banyak sekolah maupun guru yang memiliki fasilitas. Namun pengoptimalan fasilitas tersebut untuk sarana pembelajaran masih kurang,” tutur Kepala Deputi ComLabs ITB Arief Bahtiar.

Melalui Pesantren IT, guru diajarkan bagaimana menyiapkan materi pembelajaran dengan menggunakan IT. Tidak hanya materi pembelajaran untuk satu pertemuan, satu semester, namun materi pembelajaran untuk satu tahun pelajaran.

“Minimal mereka bisa menggunakan Microsoft Office Power Point sebagai media materi pembelajarannya. Dan itu akan lebih efisien dalam pemberian materi ajar tersebut,” tegasnya.[den]

http://www.inilahjabar.com/read/detail/1768561/pesantren-it-arahkan-pengajar-jadi-pendidik

 [youtube http://www.youtube.com/watch?v=0ZzCTGieOH0&w=640&h=410]

 

Related articles, courtesy of Zemanta:

Monday, August 22, 2011

Pernyataan Pribadi Filosofi Pendidikan Untuk Dosen

Ketika diminta untuk menulis sebuah pernyataan pada filosofi pendidikan mereka, dosen banyak kemiripan dengan profesional, atlet, atau seniman jika diminta untuk mengartikulasikan bagaimana  mencapai tujuan mereka: "Mengapa saya harus menghabiskan waktu untuk menulis ini? Kenapa saya tidak bisa melakukannya? Karena berorientasi pada tindakan individu, permintaan untuk menuliskan filosofi pribadi tidak hanya sedikit menjengkelkan, tetapi menyebabkan kecemasan untuk memulainya. Sehingga timbul pertanyaan yang dimaksud dengan Filosofis Pendidikan Untuk Dosen itu apa sih?"

Dalam iklim akademis saat ini ada kemungkinan bahwa dosen  akan diminta suatu pernyataan pendidikan pribadi selama karir mereka. Penekanan pada portofolio untuk keputusan personalia, komitmen baru oleh lembaga pendidikan, dan pasar kerja akademik yang ketat telah merangsang permintaan agar dosen perguruan tinggi dapat mengartikulasikan filosofi pendidika mereka. Pada banyak perguruan tinggi dan universitas,  Pernyataan Pribadi Filosofis Pendidikan Untuk Dosen menjadi bagian reguler dari syarat/berkas untuk promosi dosen. Pernyataan seperti itu sering diminta untuk bea  atau pelamar siswa atau untuk dana proyek-proyek pendidikan yang inovatif.

Selain memenuhi persyaratan, Pernyataan Pribadi Filosofis Pendidikan Untuk Dosen dapat digunakan untuk merangsang refleksi pada pembelajaran. Tindakan perenungan untuk mempertimbangkan tujuan, tindakan, dan visi seorang dosen memberikan kesempatan bagi pengembangan diri yang dapat memperkaya kemampuan pribadi dan profesional. Meninjau dan merevisi pernyataan  Pernyataan Pribadi Filosofis Pendidikan Untuk Dosen dapat membantu merefleksikan pertumbuhan mereka dan memperbaharui dedikasi mereka untuk tujuan-tujuan dan nilai-nilai pendidikan yang mereka pegang.

Format Surat Pernyataan

Salah satu ciri dari sebuah Pernyataan Pribadi Filosofis Pendidikan Untuk Dosen adalah personal dan individualitas. Namun, beberapa pedoman format umum yang dapat disarankan:

Surat pernyataan harus singkat, satu atau dua halaman paling banyak. Untuk beberapa tujuan, deskripsi yang diperpanjang adalah dimungkinkan, tetapi panjangnya harus sesuai konteks.

Pernyataan harus menghindari istilah teknis, bahasa pendukung dan konsep secara luas dapat digunakan. Jika pernyataan adalah untuk spesialis, pendekatan  lebih teknis dapat digunakan. Aturan umum adalah bahwa pernyataan harus ditulis dengan "penonton dalam pikiran".

Narasi, pendekatan orang pertama umumnya sesuai. Dalam beberapa bidang, pendekatan yang lebih kreatif, seperti puisi mungkin cocok dan dihargai, tetapi sebagian besar, sebuah pernyataan langsung dan terorganisir dengan baik lebih disukai.

Pernyataan tersebut harus reflektif dan pribadi. Apa yang membawa Pernyataan Pribadi Filosofis Pendidikan Untuk Dosen adalah untuk kehidupan serta sejauh mana menciptakan potret hidup dari seseorang tentang pembelajaran dan komitmen untuk karir.

Komponen Pernyataan

Komponen utama dari Pernyataan Pribadi Filosofis Pendidikan Untuk Dosen adalah deskripsi tentang bagaimana dosen berpikir pembelajaran terjadi, bagaimana mereka berpikir mereka dapat campur tangan dalam proses ini, apa tujuan utama mereka miliki untuk mahasiswa, dan apa tindakan yang mereka ambil untuk melaksanakan niat mereka.

Konseptualisasi pembelajaran. Menariknya, dosen perguruan tinggi sebagian besar setuju bahwa salah satu fungsi utama mereka adalah untuk memfasilitasi pembelajaran siswa, namun yang paling menarik ketika ditanya bagaimana pembelajaran itu terjadi. Hal ini mungkin disebabkan fakta bahwa ide-ide mereka tentang hal ini lebih bersifat intuitif dan berdasarkan pengalaman, bukan kesadaran pada teori yang diartikulasikan. Kebanyakan belum mempelajari literatur tentang pembelajaran mahasiswa dan pengembangan atau belajar kosa kata untuk menjelaskan pemikiran mereka. Tugas mengartikulasikan konseptualisasi pembelajaran itu memang sulit.

Banyak dosen telah mendekati cara menjelaskan bagaimana cara berpikir siswa saat pembelajaran terjadi melalui penggunaan metafora. Menggambarkan perbandingan dengan contoh diketahui dapat merangsang pemikiran bila metafora benar-benar digunakan dalam pernyataan itu. Sebagai contoh, ketika diminta untuk memberikan metafora, seorang dosen yang menjelaskan pembelajaran siswa tentang amuba. Dia secara rinci menerangkan bagaimana organisme berhubungan dengan lingkungan membran permeabel, gerakannya, dan lingkungannya, serta menerjemahkan ini ke dalam konteks belajar-mengajar dengan gambar atau perbandingan agar mahasiswa menjangkau dan memperoleh pengetahuan ini. Grasha (1996) telah melakukan eksplorasi yang luas dari metafora untuk menjelaskan pengajaran dan pembelajaran. Sebuah contoh klasik yang juga berisi eksplorasi metafora pengajaran dan pembelajaran oleh Israel Scheffler: "The Language of Education" (1960). Reinsmith (1994) menerapkan ide arketipe untuk mengajar. 

Sebuah pendekatan langsung bagi dosen untuk menjelaskan apa yang mereka pikirkan terjadi selama episode pembelajaran, berdasarkan pengamatan dan pengalaman mereka atau berdasarkan literatur yang ada saat ini pada pengajaran dan pembelajaran. Beberapa sumber yang berguna yang meringkas gagasan saat belajar dalam cara yang sangat mudah terkandung pada buku Svinicki (1991), Weinstein & Meyer (1991), dan Bruning (1994). Dosen juga dapat meringkas apa yang telah mereka amati dalam praktek mereka sendiri tentang gaya belajar yang berbeda yang menampilkan tempo yang berbeda, cara mereka bereaksi terhadap kegagalan, dan sejenisnya. Deskripsi tersebut dapat menampilkan kekayaan pengalaman dan kepekaan dosen terhadap pembelajaran mahasiswa.

Konseptualisasi mengajar. Ide tentang bagaimana dosen dapat memfasilitasi proses belajar mengikuti dari model belajar mahasiswa telah dijelaskan. Jika metafora telah digunakan, peran dosen dapat menjadi perpanjangan dari metafora. Misalnya, jika pembelajaran siswa telah digambarkan sebagai pengolahan informasi yang dilakukan oleh komputer, apakah dosen bertindak sebagai teknisi komputer, perangkat lunak, database? Jika deskripsi untuk mengarahkan pembelajaran mahasiswa telah diartikulasikan, apa peran dosen terhadap motivasi mereka? Bagaimana dosen dapat merespon gaya belajar yang berbeda, membantu mahasiswa yang frustasi, mengakomodasi kemampuan yang berbeda?

Tujuan untuk mahasiswa. Menggambarkan peran dan perincian bagaimana dosen dapat membantu mahasiswa belajar, tidak hanya untuk konten tertentu, tetapi juga keterampilan prosesnya, seperti berpikir kritis, menulis, dan memecahkan masalah. Hal ini juga termasuk pada pembelajaran seumur hidup - bagaimana dosen dapat membantu mahasiswa menghargai dan memelihara keingintahuan intelektual mereka, hidup etis, dan memiliki karir yang produktif. Bagi kebanyakan dosen, lebih mudah untuk mulai dengan tujuan konten pembelajaran, misalnya keinginan mahasiswa untuk memahami prinsip-prinsip desain aerodinamis atau pengobatan hipertensi. Tujuan proses terkait, seperti pemecahan masalah atau keterampilan rekayasa dan diagnostik medis, mungkin dijelaskan selanjutnya. Diakhiri, karir dan tujuan seumur hidup: seperti kerja tim, etika, dan komitmen sosial.

 

Pelaksanaan filosofi. Bagian yang sangat penting dari Pernyataan Pribadi Filosofis Pendidikan Untuk Dosen adalah deskripsi tentang bagaimana konsep tentang pengajaran dan pembelajaran dan tujuan bagi siswa  diterjemahkan ke dalam tindakan. Untuk sebagian besar kita, bagian dari pernyataan itu adalah paling mengungkapkan dan paling berkesan. Hal ini juga umumnya lebih menyenangkan dan kurang menantang untuk ditulis. Di sini, dosen menjelaskan bagaimana mereka melakukan manajemen kelas, mengajar siswa, mengembangkan sumber daya instruksional, atau mengukur kinerja kelas. Dosen menyediakan rincian tentang apa strategi instruksional  yang mereka gunakan sehari-hari. Ini adalah bagian dimana dosen dapat menampilkan kreativitas, antusiasme, dan kebijaksanaan mereka. Mereka dapat menggambarkan bagaimana mereka "Uji Sistem  Tanpa Kesalahan" atau teknik rekaman video untuk mempromosikan keterampilan kepemimpinan serta menerapkan gagasan-gagasan tentang bagaimana dosen dapat memfasilitasi pembelajaran. Dosen dapat menggambarkan apa yang mereka inginkan untuk pengalaman di kelas mahasiswa yang mereka ajarkan, laboratorium dan proyek independen yang mereka awasi. Dosen dapat menggambarkan tingkat energi mereka sendiri, kualitas mereka untuk menunjukkan sebagai model dan pelatih, iklim untuk membangun pengaturan di mana mereka mengajar.

Rencana Pertumbuhan Pribadi. Untuk beberapa tujuan, termasuk pada pertumbuhan pribadi seseorang sebagai seorang dosen juga penting dalam sebuah Pernyataan Pribadi Filosofis Pendidikan Untuk Dosen. Komponen reflektif dapat menggambarkan bagaimana seseorang tumbuh dalam pembelajaran selama bertahun-tahun, apa tantangan pada saat ini, dan apa tujuan jangka panjang diproyeksikan. Dalam menulis bagian ini, hal ini membantu untuk berpikir tentang bagaimana konsep-konsep seseorang serta tindakannya berubah dari waktu ke waktu. Mungkin menarik untuk melihat silabus lama atau sumber daya instruksional yang telah diciptakan sehingg bisa bertanya tentang asumsi implisit di balik produk tersebut. Dialog dengan rekan-rekan, perbandingan praktek pembelajaran dengan visi/misi, dan survey terhadap mahasiswa atau umpan balik pada pengajaran dapat membantu  pertanyaan, teka-teki, dan tantangan ini. Dari hal ini, visi dosen akan muncul serta  dapat menjadi cara yang sangat efektif untuk menyimpulkan Pernyataan Pribadi Filosofis Pendidikan Untuk Dosen.

Contoh Pernyataan

Sejauh ini, Pernyataan Pribadi Filosofis Pendidikan Untuk Dosen dapat ditiru dari para sejawat yang mengajar dalam pengaturan atau disiplin yang sama. Karena pernyataan cenderung disesuaikan dengan konteks spesifik, contoh model "peer to peer" sangat tepat. Dialog dengan rekan-rekan  dapat membantu untuk merangsang ide-ide untuk Pernyataan Pribadi Filosofis Pendidikan Untuk Dosen milik sendiri.

Contoh lain  terkandung dalam buku-buku  portofolio mengajar, seperti Seldin (1993) dan O'Neil & Wright (1993). Buku reflektif pada pengajaran kampus yang efektif seringkali berisi deskripsi luas tentang filosofi pengajaran, seperti bab tentang "Developing a Personal Vision of Teaching" di buku Brookfield "The Skillful Teacher" (1990) dan bab "Three Teaching Principles" pada buku  Louis Schmier's "Random Thoughts" (1995).

Dikutip dari Tulisan "Nancy Van Note Chism, Ohio State University"

[youtube http://www.youtube.com/watch?v=SYW7hPOmtzw&w=640&h=410]

Referensi

Brookfield, S. (1990). The skillful teacher. San Francisco: Jossey-Bass.

Bruning, R. (1994). The college classroom from the perspective of cognitive psychology. (pp. 3-22) In K. Pritchard & R. Sawyer (Eds.), Handbook of college teaching. Westport, CT: Greenwood Press.

Grasha, A. (1996). Teaching with style. Pittsburgh: Alliance Publishers.

O'Neil, C., & Wright, A. (1993). Recording teaching accomplishment. (4th ed). Halifax, Nova Scotia, CA: Dalhousie University.

Reinsmith, W. (1994). Archetypal forms in teaching. College Teaching, 42, 131-136.

Scheffler, I. (1960). The language of education. Springfield, IL: Charles Thomas.

Seldin, P. (1991). The teaching portfolio. Bolton, MA: Anker.

Seldin, P., & Associates (1993). Successful use of teaching portfolios. Bolton, MA: Anker.

Schmier, L. (1995). Random thoughts: The humanity of teaching. Madison, WI: Magna Publications.

Svinicki, M. (1991). Practical implications of cognitive theories. In R. Menges & M. Svinicki, (Eds.) College teaching: From theory to practice.  New Directions for Teaching and Learning, 45, pp. 27-37. San Francisco: Jossey-Bass.

Weinstein, C., & Meyer, D. (1991). Cognitive learning strategies and college teaching. In R. Menges & M. Svinicki, (Eds.) College teaching: From theory to practice.   New Directions for Teaching and Learning, 45, pp. 15-26. San Francisco: Jossey-Bass. 

Monday, August 8, 2011

London Ibu Kota dari United Kingdom

 

London (ejaan Inggris: [ˈlʌndən]) adalah ibu kota Inggris dan Britania Raya. Kota yang dibangun oleh orang Romawi di masa lampau dan dulu disebut Londinium ini pada 1 Januari 2005 berpenduduk sekitar 7,4 juta jiwa di daerah London Raya dan berjuta-juta jiwa lagi di daerah metropolitannya.

Penduduk London terdiri dari berbagai macam etnik, budaya, dan agama, serta berbicara dalam hampir 300 bahasa, yang menjadikannya kota paling kosmopolitan dan dinamis di dunia. Penduduk London biasa menyebut dirinya Londoner.

London juga merupakan basis berbagai organisasi, institusi dan perusahaan yang berpengaruh di dunia. London juga merupakan percampuran antara tradisi dan teknologi, serta salah satu tujuan wisata utama.

London termasuk salah satu kota besar di dunia bersama New YorkParis, dan Tokyo. London juga sangat berkembang dalam berbagai bidang seperti finansialkomunikasi, dan seni. London juga memiliki berbagai kastilmuseumteater, gedung konser, galeri, bandara, stadion olah raga, dan istana.

Pada 6 Juli 2005, London berhasil mendapatkan hak menyelenggarakan Olimpiade 2012. Sebelumnya, London juga pernah menyelenggarakan Olimpiade 1908 dan Olimpiade 1948.

Berwisata ke Inggris adalah menikmati jalannya kemajuan zaman. Tata kota London yang penampilannya begitu tua, bahkan tidak perlu diapa–apakan lagi saat dipakai untuk syuting adegan pasar sihir Diagon Alley pada film Harry Potter, ternyata sangat modern pada segala denyutnya. 

Teknologi tata suara audio terbaik salah satunya datang dari London lewat berbagai merek papan atas, demikian pula teknologi mobil presisi tinggi Rolls Royce. Lalu tengok pula grup–grup besar dunia yang mencuat antara lain lewat London seperti Rolling Stones, The BeatlesGenesis, Camel, Queen, The Who, sampai dengan Elton John.

Maka, bila Anda berwisata ke Inggris, Anda harus menikmati The London Wheel (TLW). Kincir elektrik raksasa di tepi Sungai Thames ini sungguh seperti kiasan bagi negara Inggris.

TLW dibuat dengan teknologi sangat tinggi, dengan baja yang kemampuannya ditingkatkan, namun berdiri berdampingan dengan bagian tertua Kota London. Dari puncak TLW terlihat jelas gedung parlemen, menara Big Ben, bahkan pesawat terbang yang datang dan pergi di bandara teramai di dunia, Heathrow.

Kita juga bisa mundur ke zaman prasejarah di Inggris. Pergilah ke Salisbury, sekitar 150 kilometer barat laut London. Selain bisa melihat Katedral Salisbury yang menyimpan salinan Magna Charta dari abad ketiga belas, tujuan wisata yang tidak boleh dilewatkan adalah The Stonehenge, yaitu situs astronomi purba yang sejarahnya masih simpang siur sampai saat ini.

Magna Charta sebenarnya sudah merupakan catatan sejarah dunia, bukan semata Inggris lagi. Dokumen yang disahkan Raja John pada tahun 1215 ini adalah kesepakatan dengan Paus (waktu itu Inggris masih tunduk di bawah Roma sebagai penganut Katolik), bahwa kekuasaan absolut raja harus dibatasi. Bisa dikatakan Magna Charta adalah catatan penghormatan pada hak–hak publik dan penegakan hukum sampai ke atas.

Di tepi tenggara London kita bisa mengunjungi Greenwich, kota yang menjadi acuan waktu sedunia. Di sana, sebuah garis dari baja tahan karat yang memanjang di tanah menjadi penunjuk bahwa itulah garis bujur nol derajat dunia. Ingat waktu dunia? Ingatlah waktu GMT (Greenwich Mean Time).

Kunjungan saya terakhir ke London adalah pada bulan Juni 2010 dalam rangka Seminar Doktoral di Institute oF Education -University of London. Banyak pengalaman yang dapat diambil, diantaranya tertuang pada video klip di bawah ini:

<iframe width="640" height="410" src="http://www.youtube.com/embed/_zjFHdDFpQY" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

Related articles, courtesy of Zemanta:

Wednesday, August 3, 2011

Perubahan paradigma pendidikan: Mengapa kita tidak mendapatkan hal yang terbaik dari seseorang?

Changing Education Paradigms - Sir Ken Robinson
Mengapa kita tidak mendapatkan hal yang terbaik dari seseorang? Sir Ken Robinson berpendapat bahwa itu karena kita telah dididik untuk menjadi pekerja yang baik, bukan pemikir kreatif. Siswa dididik dengan pikiran dan badan yang gelisah - jauh dari pembudidayaan energi kreatifitas dan rasa ingin tahu - hal ini telah lama diabaikan atau bahkan menjadi stigma, dengan konsekuensi yang mengerikan "Kita mendidik seseorang dengan mengabaikan kemampuan kreativitas mereka," kata Robinson. 

Pada dasarnya, Sir Ken Robinson mempertanyakan sistem pendidikan yang tidak menyajikan sisi kreatif, kita perlu solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang dia sampaikan - masalah yang  kita sangat sadari. Siapapun bisa mengkritik sistem, tetapi sedikit  yang bisa memperbaikinya. 

Solusi Apa yang kita pikir akan mengatasi masalah yang Robinson jelaskan? Kita memiliki banyak pemikiran mengenai hal ini, terutama untuk mereka yg telah mengajar di beberapa universitas di negeri ini; tapi jiwa, pikiran dan tangan kita terperangkap dalam kebijakan yang ada sekarang, sehingga mengeluh bukan sesuatu yang dapat kita lakukan untuk  saat ini. Namun, seperti yang sering dikatakan, salah satu pedagogi dan pelajaran  efektif yang telah kita temukan adalah belajar dari kesalahan kita dan yang dilakukan oleh orang lain sebelumnya. 

<iframe width="640" height="390" src="http://www.youtube.com/embed/zDZFcDGpL4U" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

Tuesday, August 2, 2011

Online education gaining credibility in labour market: Survey

Ability to work full-time while studying key benefit

Report from http://www.hrreporter.com/ArticleView?articleid=10865&headline=online-education-gaining-credibility-in-labour-market-survey 

Online education programs from post-secondary institutions are gaining credibility in the labour market, according to a survey byDeVry Institute of Technology in Calgary.

"From a recruitment perspective, online degree programs and courses offered by post-secondary institutions have come a long way in the last five years," said Greg Quinn, vice-president of retail distribution and a hiring manager at TD Canada Trust's prairie region. "Today, technology allows for increased two-way communication, interaction and collaboration, similar to the blended learning approach that employees experience in the workplace."

Seven in 10 survey respondents believe employers see value in online education, with 49 per cent ranking online education moderately valuable and 21 per cent ranking it as highly valuable, found the survey which polled more than 500 Canadians in Alberta.

As online courses have developed over the years, employers have taken notice. Almost one-half of survey respondents (47 per cent) believe online education has become more credible over the last five years. Furthermore, 76 per cent believe current online education offerings are moderately (46 per cent) or highly credible (31 per cent).

"The findings of this survey seem to confirm that online course delivery has evolved into a critical, if not required, component of a quality post-secondary education," said Ranil Herath, DeVry Institute of Technology president.

With 23 per cent of survey respondents already having taken online courses, employers envision this percentage will increase given the advantages that online education provides over the traditional campus-only model. For example, when asked about the benefits of online education, 39 per cent said being able to work full-time while studying is a key benefit and 24 per cent said online courses are more conveniant.

"We appreciate the convenience and flexibility that online education offers our employees," said Quinn. "It means they can choose the best program for their development that fits into their personal and working life."

<iframe width="640" height="390" src="http://www.youtube.com/embed/ld5yexNl5I0" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

Monday, August 1, 2011

Pendidikan: Benteng Terakhir Peradaban Manusia

 

Menurut Wikipedia, Istilah peradaban sering digunakan sebagai persamaan yang lebih luas dari istilah “budaya” yang populer dalam kalangan akademis.  Dimana setiap manusia dapat berpartisipasi dalam sebuah budaya, yang dapat diartikan sebagai “seni, adat istiadat, kebiasaan … kepercayaan, nilai, bahan perilaku dan kebiasaan dalam tradisi yang merupakan sebuah cara hidup masyarakat”. Namun, dalam definisi yang paling banyak digunakan, peradaban adalah istilah deskriptif yang relatif dan kompleks untuk pertanian dan budaya kota. Peradaban dapat dibedakan dari budaya lain oleh kompleksitas dan organisasi sosial dan beragam kegiatan ekonomi dan budaya.

Dalam sebuah pemahaman lama tetapi masih sering dipergunakan adlah istilah “peradaban” dapat digunakan dalam cara sebagai normatif baik dalam konteks sosial di mana rumit dan budaya kota yang dianggap unggul lain “ganas” atau “biadab” budaya, konsep dari “peradaban” digunakan sebagai sinonim untuk “budaya (dan sering moral) Keunggulan dari kelompok tertentu.” Dalam artian yang sama, peradaban dapat berarti “perbaikan pemikiran, tata krama, atau rasa”.  “Peradaban” dapat juga digunakan dalam konteks luas untuk merujuk pada seluruh atau tingkat pencapaian manusia dan penyebarannya (peradaban manusia atau peradaban global). Istilah peradaban sendiri sebenarnya bisa digunakan sebagai sebuah upaya manusia untuk memakmurkan dirinya dan kehidupannya. Maka, dalam sebuah peradaban pasti tidak akan dilepaskan dari tiga faktor yang menjadi tonggak berdirinya sebuah peradaban. Ketiga faktor tersebut adalah sistem pemerintahan, sistem ekonomi, dan IPTEK.

Dari sumber yang sama, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Pendidikan biasanya berawal pada saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa (mengajar) bayi mereka sebelum kelahiran. Anggota keluarga mempunyai peran pendidikan yang amat mendalam — sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka — walaupun pendidikan anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.

Lebih lanjut, Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.

Dari fenomena akhir-akhir ini ternyata pendidikan dirasakan belum memberikan kemanjuran (efficacy) terhadap permasalahan peradaban bangsa Indonesia. Banyak permasalahan besar yang menyangkut nilai-nilai mendasar kemanusiaan yang belum terselesaikan oleh bangsa ini untuk menyambut persaingan antar bangsa yang semakin ketat dan berkelanjutan. Diantaranya kasus korupsi (dengan pemeran utama Gayus) menjadi sorotan yang banyak fihak karena telah “mengkerdilkan” logika sederhana manusia terhadap arti kebenaran dan kemanusiaan. Selain itu, sebagai menu tambahan, ada juga masyarakat di lingkungan pendidikan yang masih mengedepankan penyelesaian “barbarian” dengan membakar atau merusak  sarana pendidikan karena masalah sepele atau bahkan tidak ketahuan ujung pangkalnya. Di fihak lain, adanya sinyalemen bahwa Sertifikasi Pendidik yang memakan biaya tidak sedikit, ternyata belum memberikan pemicu kinerja tenaga pendidik menjadi lebih baik atau memenuhi syarat minimal.

Disadari bahwa setiap praktik pendidikan atau pembelajaran tidak terlepas dari sejumlah masalah dalam mencapai tujuannya. Upaya pemecahan masalah tersebut akan memerlukan landasan teoretis-filosofis mengenai apa hakikat pendidikan dan bagaimana proses pendidikan dilaksanakan. Henderson dalam Sadulloh (2004) mengemukakan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat yang diaplikasikan untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan. Peranan filsafat yang mendasari berbagai aspek pendidikan merupakan suatu sumbangan yang berharga dalam pengembangan pendidikan , baik pada tataran teoretis maupun praktis. Filsafat sebagai suatu sistem berpikir dengan cabang-cabangnya (metafisika, epistemologi, dan aksiologi) dapat mendasari pemikiran tentang pendidikan bagi peradaban manusia.

Menurut Brubacher (1959), terdapat tiga prinsip filsafat yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: (1) persoalan etika atau teori nilai; (2) persoalan epistemologi atau teori pengetahuan; dan (3) persoalan metafisika atau teoni hakikat realitas. Untuk menentukan tujuan pendidikan, memotivasi belajar, mengukur hasil, pendidikan akan berhubungan dengan tata nilai. Persoalan kuriikulum akan berkaitan dengan epistemologi. Pembahasan tentang hakikat realitas, pandangan tentang hakikat dunia dan hakikat manusia khususnya, diperlukan untuk menentukan tujuan akhir pendidikan.

Jadi……Apakah anda setuju bahwa Pendidikan Adalah Benteng Terakhir Peradaban Manusia (Education is The Last Bastion of Human Civilization ~ Djadja Sardjana)?

<iframe width="640" height="510" src="http://www.youtube.com/embed/lhN1I1P9Q3k" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

 

Saturday, July 30, 2011

Dunia Manusia Dilihat Sebagai Kumpulan Masyarakat atau Komunitas Praktisi

Etienne Wenger seorang ahli komunitas  praktisi (Communities of Practice) dalam kuliah umumnya di Universitas Lancaster mengatakan:

Dunia manusia dapat dilihat sebagai sejumlah besar masyarakat atau komunitas  praktisi (Communities of Practice) - beberapa diantaranya sangat menonjol dan diakui, yang lain nyaris tidak terlihat. Belajar, kemudian dapat dipahami sebagai lintasan melalui lanskap praktek:memasuki beberapa komunitas, ada yang diundang atau ditolak, tetap terasing, melintasi batas-batas pengetahuan, terjebak atau terus bergerak. 

Dalam lanskap ini, baik inti komunitas praktisi dan sekeliling mereka menawarkan kesempatan untuk belajar. Belajar tidak hanya sekedar menguasai tubuh pengetahuan (Body of Knowledge), tetapi merupakan perjalanan diri sendiri. Mencapai tingkat "knowledgeability" (Kemampuan Pengetahuan) yang tinggi adalah masalah negosiasi identitas produktif serta hubungannya dengan berbagai praktik yang membentuk lanskap ini. 

Presentasi tentang "Etienne Wenger: Learning in and across landscapes of practice" dapat diunduh disini

<object width="640" height="390"><param name="movie" value="http://www.youtube.com/v/MRY_DbOn8Sg?version=3&amp;hl=en_US"></param><param name="allowFullScreen" value="true"></param><param name="allowscriptaccess" value="always"></param><embed src="http://www.youtube.com/v/MRY_DbOn8Sg?version=3&amp;hl=en_US" type="application/x-shockwave-flash" width="640" height="390" allowscriptaccess="always" allowfullscreen="true"></embed></object>

Friday, July 29, 2011

Pendidikan Digital: Utopia Atau Harapan? (Sebuah Obrolan di Dunia Maya)

 

Pada bukunya “Digital Education” (http://www.byd.com.ar/dewww.htm) Antonio M. Battro dan Percival J. Denham mengatakan: “Tidak ada yang tahu persis kapan atau di mana dunia baru pendidikan digital akan memanifestasikan dirinya, tetapi ada indikasi pasti kematian pendidikan tradisional. Ini hanya masalah bagaimana mengantisipasi saat itu dan mempersiapkan untuk mencari solusinya, agar tidak terjadi seperti jatuhnya Tembok Berlin. Kami berdua yakin akan kemenangan kebebasan dan jatuhnya hambatan yang membatasi pendidikan.”

Buku tersebut menjadi perbincangan menarik dikalangan pendidik Indonesia. Argumen menarik pertama melalui Facebook datang dari  Sukanto Tedjokusuma (Dosen Universitas PETRA Surabaya) yang berpendapat dengan “istilah gaul” : “Menurut saya Battro & Denham ‘lebay’  Pak ! Apakah percobaan efek obat pada tikus mau dilakukan secara digital? Apakah efek dari gempa pada  suatu struktur hanya akan dianalisa secara digital? Kalau Battro & Denham mau memaksakan “teori”nya, mungkin mereka akan memaksakan agar riset dikeluarkan dari dunia Education….”. Semakin seru, ada pendapat juga disampaikan oleh Bayu Adhitya Nugraha (ComLabs USDI ITB): “Perubahan ke arah Digital dalam pendidikan itu sebuah kepastian. Masalahnya, apakah perubahan itu akan mengarah ke reformasi pendidikan atau hanya memindahkan kesimpangsiuran dalam ekosistem baru?”

Argumen saya perihal ini adalah : “Peserta didik sekarang adalah ‘Digital Native’ (Penduduk Asli Digital), sedangkan kita adalah ‘Digital Immigrant’ (Muhajirin Digital)… Metoda pembelajaran saat ini semestinya disesuaikan dengan preferensi mereka… Bahkan di kampung-kampung, banyak dari mereka lebih mengenal “avatar/anime” dibanding “Tokoh Nasional” yg dulu sering kita baca di koran.” Sedangkan Tajuddin N. Pabeta(Dosen Universitas Indonesia) mengatakan: “Nah ini menarik dan saya setuju… Tapi dalam banyak hal terkadang seseorang mengajak orang lain makanan makanan enak, padahal orang yang diajaknya pemilik restoran.. Bukan pemilik warteg..”

Saya mengutip Neil Postman: “Bahwa perubahan terus menerus ada, dan semakin cepat serta ada dimana-mana, Hal itu merupakan karakteristik yang paling mencolok pada dunia di mana kita berada. Sayangnya sistem pendidikan kurang bahkan belum mengakui kenyataan ini. Seharusnya kita mendesain lingkungan-lingkungan sekolah yang bisa membantu kaum muda untuk mampu menguasai konsep-konsep yang penting untuk bisa tetap hidup dalam dunia yang terus berubah cepat.” IMHO (In My Humble Opinion) Pengertian dari itu adalah mengintegrasikan dunia digital/maya (yg sebetulnya dunia nyata) peserta didik kita dengan sistem sistem pembelajaran yang sudah ada :-)

Dilain pihak Hidayat Ely (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Makassar) berpendapat: “Saya coba berpendapat tanpa mengurangi sama sekali rasa hormat. Kita sedang berada di dalam jutaan ketidakpastian dunia (world uncertainty), akibat pergerakan perubahan di berbagai lini kehidupan. Namun sehebat-hebat itu semua, pendidikan lewat tatap-muka langsung (pendidikan tradisional) masih lebih efektif. Analoginya, sehebat-hebat ajang simulasi digital pertempuran para pilot tempur F-16 USAF, tetap diharuskan praktek lapang (bertatap-muka dengan situasi yg sebenarnya). Karena hal itu lebih cepat memberi penghayatan psikologis-real atas materi-ajar pertempuran, dibanding pertempuran pada simulator. Jadi, sehebat-hebat “digital-education” masih lebih hebat pendidikan tatap muka langsung (tradisional), & hal ini telah berlangsung sejak Nabi Adam AS hingga kini, sebagai sebuah atau sesuatu keniscayaan “endowment”.  Untuk hal itu saya tanggapi dengan:“Kata kuncinya adalah “Integrasi” bukan “Mutilasi” salah satu metode pembelajaran. Salah satunya yg bisa dilakukan adalah “Blended Learning” dengan semua media digital yang ada.”

Sebagai kritik tentang hal ini Hendragunawan S. Thayf (Dosen UNHAS) mengatakan: “Neil Postman pernah mengeritik kemasan edutainment dalam bentuk tv show… Waktu itu belum ada internet dan multimedia dlm edukasi, tapi esensi kritikannya pada adanya kecenderungan ‘pendangkalan/peringkasan berlebih’ dan semangat ‘make it all fun’ yang kelewatan sementara esensi pendidikan sesungguhnya juga ‘membiasakan jiwa dengan yang tidak disukainya untuk mendewasakannya’.” Kritik tersebut saya tanggapi dengan,  “Filosofis Sekolah Digital adalah ‘make it all fun’ sesuai dengan filosofis Yunani dari Sekolah adalah ‘Tempat yang menyenangkan,. Menyenangkan utk semua pemangku kepentingan pendidikan mulai dari pendidik, peserta didik dan stakeholder lainnya.”

Mungkin jawaban Battro dan Denham tepat untuk menjawab hal-hal di atas :”Keinginan terbesar kami adalah memberikan kontribusi untuk menafsirkan peringatan awal dari perubahan (Pendidikan Digital) ini &dan menguraikan beberapa jalan bagi masa depan pendidikan.”

Sebenarnya, ini adalah bagian dari kode-kode masa depan dalam dunia pendidikan kita (meminjam istilah Rhenald Kasali dalam bukunya Craking Zone). Seperti apa kita menafsirkan masa depan? Apakah akan menjadi pemain, penonton atau pesakitan? Perspektif, langkah, dan action kitalah yang akan menentukan disebuah zaman; disebuah masa dimana kita akan melihat semua orang di Indonesia berwujud Avatar.

<iframe width="640" height="510" src="http://www.youtube.com/embed/mRuw8_nGH08" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>

Related articles, courtesy of Zemanta: