Apa yang anda renungkan dari kejadian ini? Kesetiaan? Komitmen? Komunikasi? Kasih Sayang? Syariat Agama? Atau Yang Lain.....
Silahkan isi jajak pendapatnya....
BANDUNG Raya berada dalam cekungan, bak sebuah kuali raksasa. Proses geologi yang terjadi selama ribuan tahun telah membuat wilayah ini memiliki karakteristik yang sangat khas. Salah satunya, menjadi daerah tangkapan air hujan, lengkap dengan iklim yang membuat banyak orang kerasan tinggal di daerah ini.
Sayangnya, data dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa keberadaan cekungan Bandung justru semakin dalam. Permukaan tanah di cekungan Bandung semakin ambles karena eksploitasi air tanah. Secara teknis, hal itu terjadi karena volume pori-pori batuan pasir yang tadinya penuh berisi air menjadi kopong (kosong). Kondisi seperti itu diperparah oleh terus bertambahnya tekanan dari bangunan dan juga kendaraan yang ada di atasnya.
Sayangnya, amblesnya permukaan tanah di wilayah cekungan Bandung masih sebatas bahasan akademik. Padahal, kecepatan ambles permukaan tanah di kawasan cekungan Bandung tergolong sangat mengkhawatirkan. Wilayah cekungan Bandung-Soreang adalah salah satu contohnya. Sampai saat ini, daerah itu sudah ambles sekitar 42-52 cm akibat muka air tanah di kawasan cekungan air tanah (CAT) turun 2-3 m. Data ini disampaikan Kepala Pusat Geologi Lingkungan Dr. Ir. Ade Djumarma Wirakusumah, Dipl. Seis, beberapa waktu lalu.
Pengambilan air bawah tanah yang tak terkendali menyebabkan penurunan muka air tanah yang signifikan. Itulah pula yang menyebabkan banyak daerah di Kota Bandung dan sekitarnya digolongkan sebagai daerah rawan dan kritis air. Daerah yang mengalami penurunan lapisan air tanah paling besar adalah kawasan Bandung selatan. Daerah tersebut berpotensi banjir karena lapisan tanahnya sebagian besar terdiri dari lempung yang kurang mampu menyerap air, sementara saluran keluarnya tidak ada.
Penurunan tanah ini merupakan salah satu faktor signifikan yang menyebabkan banjir. Ketika titik-titik tanah pada satu kawasan menurun, daerah tersebut menjadi lebih rendah dari tempat-tempat lainnya dan membentuk cekungan, maka daerah tersebut akan menjadi daerah yang berpotensi banjir terutama saat musim hujan. Ironisnya, air menjadi sesuatu yang sulit didapat setiap musim kemarau.
Jika diasumsikan jumlah penduduk kawasan Bandung Raya mencapai 7 juta orang dan kebutuhan air bersih sebanyak 125 liter per hari per orang, kebutuhan air yang harus tersedia sekitar 350 juta m3 per tahun.
Kebutuhan air bersih untuk industri diperkirakan mencapai 132 juta m3 per tahun, sedangkan untuk keperluan sosial (tempat ibadah, dsb.) dan perkantoran diperkirakan mencapai 30 juta m3 per tahun. Dengan demikian, total kebutuhan air bersih di kawasan ini mencapai 512 juta m3 per tahun.
Sementara itu, pemenuhan kebutuhan air bersih yang mampu disediakan PDAM Kota Bandung hanya sekitar 17 juta m3 per tahun. Sedangkan PDAM Kab. Bandung-Cimahi baru mampu menyediakan sekitar 19 juta m3 per tahun.
Secara keseluruhan, pemenuhan air bersih oleh kedua PDAM itu baru mencapai 36,5 juta m3 per tahun dengan proporsi sumber air bakunya 40% berasal dari air permukaan dan 60% dari air tanah. Pengambilan air tanah yang dilakukan industri terjadi karena PDAM memang tak mampu menyediakan kebutuhan air mereka.
Penurunan muka air tanah yang drastis terjadi terutama sejak tahun 1980-an. Hal itu seiring dengan pesatnya perkembangan industri dan permukiman penduduk. Penurunan muka air tanah paling parah terjadi di daerah industri, seperti Cimahi (sekitar Leuwigajah), Batujajar, sekitar Jln. Moh. Toha, Dayeuhkolot, Rancaekek-Cicalengka, Ujungberung, Cicaheum, dan Kiaracondong.
Di daerah permukiman dan perumahan, penurunan terjadi pada muka air tanah dangkal. Hal itu terlihat dari sulitnya penduduk mendapatkan air tanah dari sumur-sumur mereka. Berdasarkan data Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar, di seluruh cekungan Bandung terdapat 2.237 sumur bor air tanah.
Kondisi penurunan air tanah yang disertai amblesnya permukaan tanah ini terjadi terus setiap tahun. Keadaan ini juga selalu dipaparkan para ahli. Apakah harus menunggu hingga cekungan Bandung benar-benar cekung? Atau, hingga bangunan mulai banyak yang miring karena tiang pancangnya bergeser? Tak ada kata terlambat untuk berbuat, setidaknya mulai tahun depan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menekan laju penurunan permukaan tanah di cekungan Bandung salah satunya dengan penggunaan kembali air yang telah digunakan (reuse) sehingga lebih efisien. Implementasi regulasi pengambilan air tanah juga harus ditegakkan dengan rencana tata ruang wilayah yang ditaati dan diimplementasikan secara baik oleh semua pihak, baik oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat di wilayah cekungan Bandung dapat berbuat dengan memperbanyak air yang meresap ke dalam tanah dengan menanam pepohonan, penghutanan, sumur resapan atau bendung penampung air. Masyarakat juga dapat mengalihkan pemenuhan kebutuhan air bersih yang berasal dari air tanah dengan sumber air lain seperti air permukaan atau penampungan air hujan. (Deni Yudiawan/ "PR")***
Dikutip dari : http://beta.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=5140
Foto dipinjam dari: http://www.asianafrican-museum.org/images/bandung.jpg