Pada awal neoklasik, pendidikan tidak dianggap signifikan sebagai parameter produksi dan karenanya tidak dimasukkan dalam model pertumbuhan (Harberger, 1998: 1-2). Namun tahun 1960-an bukti-bukti empiris merangsang pada "human investment revolution in economic thought " (Bowman, 1960). Penelitian karya (Schultz, 1961) dan (Denison, 1962: 67) mengarah adanya serangkaian kontribusi pendidikan dalam pertumbuhan ekonomi. Studi lain memandang dampak pendidikan pada penghasilan atau perkiraan tingkat investasi swasta (Becker 1964, Mincer 1974). Sebuah survei tahun 1984 yang mencakup 29 negara-negara berkembang menemukan perkiraan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi berkisar dari 1 persen di Meksiko sampai setinggi 23 persen di Ghana (Psacharopoulos, 1984).
Hal-hal di atas menjadi bukti empiris tingkat lebih lanjut pendekatan mikro dan makro untuk menerangkan hubungan ini:
1) Pendekatan Mikro
Pada tingkat mikro, berbagai penelitian menunjukkan bahwa adanya kenaikan kesejahteraan yang terkait dengan tambahan tahun pendidikan, dengan tingkat pengembalian yang berbeda-beda dengan tingkat pendidikan (Behrman 1990, Psacharopoulos 1994). Dari penelitian, lulusan sekolah dasar cenderung lebih kecil daripada pendidikan menengah dan tinggi (Psacharopoulos, 1994: 1325-45).
Dari sudut pandang ekonomi mikro, investasi sumber daya manusia dianggap sebagai salah satu penentu utama keberhasilan dalam dunia kerja dan investasi. Pendidikan menjadi sangat penting sebagai peluang terbesar untuk mengakses pasar tenaga kerja, serta kemajuan karier dan perbaikan status profesional, termasuk dalam hal pendapatan.
Di bidang pertanian, bukti menunjukkan efek positif pendidikan terhadap produktivitas di kalangan petani menggunakan teknologi modern. Sebaliknya berdampak produktifitas lebih rendah, kepada mereka yang menggunakan metode tradisional. Di Thailand, petani dengan empat tahun atau lebih di sekolah tiga kali lebih mungkin untuk mengadopsi pupuk dan pertanian modern lainnya dibanding petani kurang berpendidikan (Birdsall, 1993: 75-79). Demikian pula, di Nepal, petani dengan pendidikan sekurang-kurangnya tujuh tahun di sekolah menjadikan peningkatan produktivitas produksi gandum dari lebih dari 25%t, dan beras 13% (Jamison dan Moock, 1994:13).
Pendidikan juga merupakan kontributor penting bagi kemampuan teknologi dan perubahan teknis dalam industri. Analisis statistik industri pakaian di Sri Lanka,, menunjukkan bahwa keahlian dan tingkat pendidikan pekerja dan pengusaha, positif berkaitan dengan laju perubahan teknis dan keuntungan dari perusahaan (Deraniyagala, 1995).
2) Pendekatan Makro
Pada tingkat makro, diyakini bahwa daya saing suatu negara dan produksinya tidak hanya tergantung pada tingkat akumulasi dan persediaan investasi dalam modal fisik, tapi juga investasi yang tertanam pada sumber daya manusia. Kita juga tidak dapat mengabaikan fakta penting lain: bentuk-bentuk investasi dalam pendidikan dan pelatihan, tidak hanya menentukan meningkatkan produktivitas tenaga kerja, tetapi berdampak positif pada kesehatan, penurunan kejahatan dan kohesi sosial. Oleh karena itu, pendidikan sebagai investasi sumber daya manusia berdampak sosial lebih besar selain produktivitas di bidang ekonomi. Hal ini sesuai dengan definisi dan peran investasi sumber daya manusia dalam konteks ekonomi oleh Adam Smith pada buku "The Wealth of Nations" (1776), yang mengusulkan analogi manusia dan mesin, ternyata sumber daya manusia dapat berkembang biak untuk menghasilkan mekanisme yang diperlukan sumber daya ekonomi.
Dalam prospektif makro, 'teori pertumbuhan baru' memasukkan beberapa efek yang sama, menekankan perlunya pendidikan serta pembelajaran serta R & D. Menurut Lucas (1998), misalnya, semakin tinggi tingkat pendidikan angkatan kerja semakin tinggi produktivitas secara keseluruhan karena pekerja lebih terdidik cenderung untuk berinovasi, dan dengan demikian mempengaruhi hampir semua produktivitas. Pada model-model lain yang serupa, peningkatan pendidikan individu tidak hanya meningkatkan produktivitas mereka sendiri , tetapi juga orang lain dengan siapa mereka berinteraksi, sehingga total rata-rata produktivitas meningkat (Perotti, 1993). Dapat pula dikemukakan bahwa pekerja terampil di pabrik modern biasanya melek huruf, dapat menghitung, dan disiplin, yang diperoleh di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama (Wood, 1994).
No comments:
Post a Comment