Sejak SMP saya senang lagu-lagu dari Iwan Abdulrachman (a.k.a Abah Iwan), termasuk lagu "Seribu Mil Lebih Sedepa". Syairnya yang lembut, penuh rasa cinta dan inspirasi kehidupan ini memang sarat dengan pesan moral yang tinggi.
Coba kita simak syairnya:
SERIBU MIL LEBIH SEDEPA
Gubuk sunyi di pinggir danau
Diam-diam tersenyum dipeluk mentari senja
Yang juga nakal meraba-raba ujung bunga rerumputan
Lagu alam memang sunyi, sayang
Apalagi sore ini, sore ini sore Sabtu. Sore biasa kita berdua
Membelai mentari senja di ujung jalan Bandung utara
Mentarinya yang ini juga, sayang
Cuma jarak yang memisah kita
Seribu mil lebih sedepa
Seribu mil pun lebih sedepa
Lagu alam memang sunyi.. mmm..
Lagi pula bukan puisi
Cuma bahana yang diam-diam
Lalu bangkit dari dalam hati
Lagu alam memang sunyi, sayang
Kini jarak yang memisah kita
Seribu mil lebih sedepa
Seribu mil pun lebih sedepa
Gubuk sunyi di pinggir danau.. mmm..
Iwan, Alam, dan Cianjuran
Oleh SONI FARID MAULANA
Sore tadi sudut perlahan
Dan bayang-bayang senja merayap satu-satu
Menjemput bintang-bintang
Yang diam-diam hadir
Kuterpana tiba-tiba bagai dalam mimpi
Langit luas malam ini penuh lagu
ENAM larik puisi di atas dipetik dari lirik lagu "Nyanyian Langit," yang ditulis sekaligus dinyanyikan oleh musikus Iwan Abdulrachman. Penggalan enam lirik lagu tersebut tidak hanya menggambarkan tentang terjadinya pergeseran waktu yang demikian cepat dalam kehidupan manusia di muka bumi, akan tetapi mengungkapkan pula suasana malam yang datang menjelang, yang dilimpahi dengan nyanyian serangga.
Tentu saja nyanyian yang hadir pada saat itu adalah bunyi-bunyian serangga dan desir angin di daun-daun. Hanya masalahnya kemudian, di tempat macam apakah suasana semacam itu bisa hadir kalau bukan di pinggir hutan? Apa sebab? Kita yang kini hidup di kota besar, yang tinggal di perumahan, yang halaman rumahnya sempit dan hanya ditumbuhi tanaman hias, rasanya sangat tidak mungkin bisa mendengar suara alam.
Berkait dengan hal itu, mendengarkan lagu demi lagu yang dikreasi oleh Iwan Abdulrachman baik yang digelar dalam berbagai pertunjukan maupun lewat kaset dan CD, adalah mendengar renungan seorang penghayat lingkungan hidup, yang dalam kehidupan sehari-hari terlibat total di situ. Betapa, lelaki kelahiran Sumedang, 3 September 1947 itu, memang dikenal sebagai aktivis lingkungan hidup dan pendaki gunung. Ia aktif di Wanadri sejak tahun 1964. Pengalaman semacam itulah yang menyebabkan dirinya kian dekat dengan alam.
**
SEBUAH lirik yang baik yang ditulis oleh seorang penyair, memang lahir dari pengalaman. Karena lahir dari pengalaman maka terasa geregetnya. Iwan adalah penyair dalam pandangan saya, yang lirik-liriknya ditulis dengan kalimat yang sederhana, namun kaya makna. Di dalam liriknya yang sederhana itu memang sangat jarang kita temukan metafora, namun apa yang ingin diungkapnya cukup jelas. Sering menyeret apresiator lirik dan lagunya ke dalam suasana batin yang hening, seperti kita baca dalam penggalan lirik lagu di bawah ini, yang dipetik dari lagu "Seribu Mil Lebih Sedepa" yang berbunyi: Gubuk sunyi di pinggir danau/ Diam-diam tersenyum dipeluk mentari senja/ Yang juga nakal meraba-raba/ Ujung bunga rerumputan/ Lagu alam memang sunyi, sayang// atau dalam lirik lainnya pada lagu "Melati dari Jayagiri" yang berbunyi: Melati dari Jayagiri/ Kuterawang keindahan kenangan/ Hari-hari lalu di mataku/ Tatapan yang lembut dan penuh kasih//.
Gambaran-gambaran tentang alam dalam lirik lagunya semacam itu sering kali diposisikan sebagai pintu masuk untuk mengungkap persoalan-persoalan kalbunya, yang ada kalanya dilanda kesepian, kesunyian, serta kerinduan yang menggelegak pada kekasihnya yang jauh, yang entah di mana pada saat itu. Lagu "Melati dari Jayagiri" dan "Seribu Mil Lebih Sedepa" mengungkap suasana kalbu semacam itu.
Dalam pandangan saya, pola lirik dan pola lagu semacam itu mengingatkan kita pada tembang Sunda cianjuran, entah dalam wanda papantunan maupun dalam wanda jejemplangan dan panambih. Dan apa yang baru saja digelarnya dalam Festival Sunda Ambu II-2006 yang baru saja berlangsung di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Jln. Buahbatu 212 Bandung itu, mengambil pola semacam itu. ***
Penulis, wartawan "PR," penyair.
No comments:
Post a Comment